KENDARI, Rubriksultra.com- Kasus penembakan warga oleh oknum aparat pengawal kapal pemuat alat berat milik perusahaan tambang PT GMS di Laonti, Konsel, terus mengundang antipati elemen masyarakat. Pada Kamis 18 Januari 2018, perwakilan Konsorsium Lembaga Pemerhati Tambang Sultra (KLPT-Sultra) melakukan audiensi dengan pihak Polda Sultra di Mapolda setempat.
Dalam pertemuan itu, KLPT-Sultra menyampaikan beberapa tuntutan, diantaranya mendesak Kapolda Sultra agar menangani secara serius kasus penembakan di Desa Tuetue, Kecamatan Laonti, Konsel.
“Kasus penembakan warga yang diduga dilakukan oleh oknum aparat kepolisian merupakan persoalan serius yang memerlukan penanganan serius. Kapolda sebagai pimpinan tertinggi di wilayah hukum Sultra harus bertanggung jawab atas kejadian itu,” tegas Koordinator KLPT-Sultra, Jumadil Sonewura.
Wakil Ketua Umum (Waketum) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi), ini menjelaskan, pengawalan aset perusahaan tambang oleh aparat kepolisian yang berujung pada penembakan terhadap warga adalah tindakan arogan dan tidak manusiawi yang menciderai nama baik lembaga kepolisian.
Apalagi, kata Jumadil, perusahaan yang dikawal adalah perusahaan yang hendak menggarap di lahan berstatus sengketa, masih dalam proses hukum di MA setelah masyarakat menang di PT TUN Makassar.
“Kepolisian itu bertugas melayani, mengayomi dan melindungi masyarakat sebagaimana tertuang dalam UU Kepolisian. Bukan melindungi pemilik modal, dan memerangi masyarakat,” ketus Jumadil.
“Kita sudah hearing kemarin dengan pihak Polda. Kami diterima dengan Pak Dolfi dari Humas Polda, bersama pejabat dari Propam Polda. Pihak Polda berjanji akan mengusut masalah ini, dan kami sangat mengapresiasi itu.”
“Intinya, kami ingin kasus ini diselesaikan dengan tuntas. Kapolda harus mencopot Kapolres Konsel, memecat dan menahan oknum polisi yang melakukan penembakan terhadap warga,” kata Jumadil kepada wartawan Inilahsultra.com, Jumat 19 Januari 2018.
Mantan Ketua DPM F-Hukum UHO Kendari ini menduga, penembakan tersebut tidak sesuai dengan SOP sebagaimana diatur dalam Perkapolri Nomor 8 Tahun 2009 dan Perkapolri Nomor 1 Tahun 2009.
Sebab, kata dia, masyarakat yang terdiri atas 500 kepala keluarga menuntut agar lahanya tidak dieksploitasi oleh perusahaan tambang PT GMS.
Jumadil menceritakan, pada dasarnya awal mula kejadian didasari dengan kasus sengketa lahan antara warga dengan pihak perusahaan pada tahun 2015. Warga menempuh jalur hukum dengan menggugat di PTUN Makassar. Warga menang, perusahaan naik banding ke MA, dan sampai saat ini belum diputuskan.
Karena itu, lanjut Jumadil, selama tahun 2015 sampai sekarang warga sudah tiga kali melakukan penahanan kapal perusahaan yang bermuatan alat berat untuk dioperasikan di lahan tambang sengketa.
“Terakhir Sabtu kemarin perusahaan dikawal aparat dan menembaki warga. Kami menduga bahwa kepolisian daerah Sultra telah berkongkalingkong dan terkesan melindungi perusahaan,” terang Jumadil.
Sebab, kata dia, seharusnya kepolisian tidak memberikan pelayanan ketika pihak perusahaan meminta bantuan untuk pengamanan kapal yang bermuatan alat berat untuk dibawa ke lokasi pertambangan sampai kasus sengketa lahan tersebut dinyatakan selesai oleh MA.(***)
Sumber: Inilahsultra