Catatan Buruk Tiga Pasang Cagub Sultra dalam Perusakan Lingkungan

KENDARI, Rubriksultra.com – Tahapan Pilgub Sultra 2018 terus berjalan. Ada tiga pasangan calon yang akan adu kekuatan, visi dan misi merebut simpati publik.

Adalah pasangan nomor urut 1 Ali Mazi-Lukman Abunawas (AMAN), pasangan nomor urut 2 Asrun-Hugua (BERKAH) dan pasangan Nomor urut 3 Rusda Mahmud-LM Sjafei Kahar (RM-SK). Ketiga pasangan ini, merupakan mantan kepala daerah di zaman masing-masing.

- Advertisement -

Ali Mazi adalah mantan Gubernur Sultra periode 2003-2008. Wakilnya, Lukman Abunawas adalah mantan Bupati Konawe dua periode, sejak 2003-2008 dan 2008-2013.

Cagub nomor urut 2, Asrun merupakan mantan Wali Kota Kendari dua periode, mulai 2007-2012 sampai 2012-2017. Wakilnya Hugua, adalah mantan Bupati Wakatobi dua periode mulai 2006-2011 dan 2011-2016.

Cagub nomor urut 3, Rusda Mahmud merupakan matan Bupati Kolaka Utara dua periode2007-2012 dan 2012-2017. Sedangkan wakilnya, LM Sjafei Kahar merupakan mantan Bupati Buton dua periode, 2001-2006 dan 2006-2011.

Menurut catatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Tenggara, tiga pasangan ini memiliki riwayat buruk terhadap komitmen lingkungan.

“Yang maju ini kan mantan kepala daerah. Ada yang pernah berkuasa dua periode dan satu periode. Di masa mereka berkuasa pernah ambil kebijakan pemberian izin pertambangan dan perkebunan sawit,” ungkap Direktur Eksekutif Walhi Sultra Kisran Makati, Rabu 3 April 2018.

Mulai dari Cagub nomor 1 Ali Mazi. Ia pernah menjabat gubernur Sultra selama lima tahun antara 2003-2008. Di zamannya, beberapa izin tambang turut dikeluarkan. Bahkan, jejak digital terkait kontribusi Ali Mazi sebagai “pemain” tambang masih tercatat.

Kisran masih ingat betul bahwa selepas Ali Mazi menanggalkan jabatannya sebagai gubernur, ia pernah terlibat dalam sengketa lahan tambang antara PT PNS dan PT Anugrah Harisma Barakah (AHB). “Dulu ada masalah tambang di Kabaena. PT PNS berperkara dengan PT AHB. Diduga, PT PNS ini adalah milik Ali Mazi,” beber Kisran.

Baca Juga :  Serapan Anggaran OPD di Buteng Masih Rendah

Begitu pula di Kabupaten Konawe Utara. Politikus Partai Nasonal Demokrat ini juga memiliki tambang di sana yang akhir-akhir ini bermasalah. “Di Konut, ada PT Daka Group diduga milik Ali Mazi,” rincinya.

Lantas bagaimana dengan wakil Ali Mazi, Lukman Abunawas? Kisran merincikan terkait dengan kebijakan Lukman menjabat dua periode di Bumi Konawe itu.

Ia menjabat sebagai bupati sebelum Konawe dimekarkan menjadi tiga daerah. Dua daerah baru adalah Konawe Utara dan Konawe Kepulauan.

Di Zamannya, Lukman menerbitkan 30 IUP di Kabupaten Konawe. Sedangkan di Konawe Kepulauan ada 20 IUP tambang yang diterbitkan. Setelah clear and clean (CnC), tinggal 18 IUP di Konkep.

Untuk di Konawe Utara, merupakan daerah dengan IUP terbanyak di Sultra. Di sini ada 136 IUP. Namun, di situ bukan hanya Lukman yang menerbitkan. Ada beberapa kepala daerah lainnya, misal Thamrin Patoro, Heri Silondae dan Aswad Sulaiman. “Mereka turut berkontribusi keluarnya IUP tambang,” bebernya.

Beralih ke pasanga nomor urut dua. Asrun yang merupakan mantan Wali Kota Kendari dua periode tak kalah buruknya soal pengelolaan lingkungan.

Revitalisasi Teluk Kendari yang dilakukan Asrun selama kepemimpinannya, dinilai Walhi sebagai bentuk reklamasi. Sebab, selain dikeruk, ternyata laut turut ditimbun untuk kepentingan komersil.

“Asrun sendiri membuat kegiatan revitalisasi, tapi itu kata halus dan justru itu reklamasi. Tidak pertimbangkan daya tampung dan daya dukung lingkungan di sana,” kata Kisran.

Akibat kebijakan Asrun ini, Teluk Kendari sesak. Banyak bangunan megah berdiri di sekitara teluk. Bahkan, ditemukan beberapa bibir teluk telah diterbitkan sertifikat hak atas tanah milik masyarakat.

Kebijakan revitalisasi Teluk Kendari ini juga tidak menjawab persoalan banjir yang terjadi selama ini di Kota Kendari.

Baca Juga :  Koperasi Tetap jadi Andalan

Lantas bagaiamana dengan wakilnya, Hugua? Ia boleh diacungi jempol soal terobosan mempopulerkan Wakatobi di kancah internasional. Namun, berdasarkan catatan Walhi, keputusan Hugua untuk memasukkan Wakatobi dalam program badan otoritas pariwisata (BOP), justru akan menambah masalah baru dikabupaten ujung Sulawesi itu.

Sebab, BOP ini kesannya adalah lahan masyarakat akan dikontrak, bahkan akan dibeli oleh badan otorita untuk menjalankan program tersebut.

Khawatirnya kemudian hari adalah, akan terjadi sengketa agraria antara investor dan masyarakat. Kasus sengketa lahan agraria antara masyarakat dan investor bukan barang aneh di zaman ini.

Selanjutnya, pasangan nomor urut 3. Cagub Sultra Rusda Mahmud merupakan mantan Bupati Kolaka Utara dua periode. Selama 10 tahun menjabat, IUP yang terbit di Kolaka Utara sudah 100 IUP. Bahkan, IUP itu ada yang masuk dalam kawasan hutan. “Di sana kerusakkan cukup parah. Selain perambahan hutan, diperparah dengan izin tambang,” jelasnya.

Akibat IUP yang begitu banyak dikeluarkan di daerah itu, hampir setiap tahun Kolaka Utara pasti menjadi langganan banjir. Belum lama ini, satu orang warga Kolaka Utara terseret banjir bandang dan longsor dan hingga saat ini belum ditemukan.

Wakilnya, LM Sjafei Kahar juga tidak kalah bermasalahnya selama menjabat Bupati Buton dua periode. Selama 10 tahun, ada 40 hingga 70 IUP tambang yang diterbitkan. Kala itu, kekuasaan Sjafei Kahar seluruh daratan Buton sampai Bombana, termasuk Pulau Kabaena.

Walhi juga mencatat, selama menjabat bupati, terjadi  kriminalisasi terhadap aktifis LMND yang menolak kehadiran perusahaa tambang PT Arga Morini di Kabaena. “Ada yang dipenjara 8 bulan dan 6 bulan” tutur Kisran.

Ia menyebut, masyarakat Sultra tidak perlu banyak berharap dengan track record para kandidat ini. Sebab, secara keseluruhan punya catatan buruk terhadap kerusakkan lingkungan. “Bagamana bisa memulihkan lingkungan, sementara di masa lalu mereka yang warisi. Yang bisa kita lakukan sekarang, KPU bantu dokumentasikan visi misi mereka agar menjadi alat tagih,” katanya.

Baca Juga :  Paslon Dilarang Kampanye di Masjid

Selama ini, kata dia, anggaran perbaikan lingkungan di dinas terkait sangat sedikit. Sehingga, monitoring terhadap masalah lingkungan sangat jarang dilakukan. “Hutan kita dalam kondisi kritis. Seiap pergantian musim hujan terjadi banjir karen daerah tutupan kita sudah habis,” bebernya. “Jadi, semua calon hampir tidak punya visi lingkungan,” tambahnya.

Kisran merincikan, jumlah izin tambang di Sultra sebelum CnC mencapai 498 IUP. Setelah CnC, jumlahnya tinggal 450 IUP.

Ia menyebut, sejumlah IUP tambang ditemukan ada yang masuk dalam kawasan hutan lindung, hutan produksi dan dan hutan konservasi. Total luasan IUP yang dikeluarkan oleh pemerintah sejauh ini, kurang lebih 600 ribu hektare. “Ada 200 ribu hektare lebih masuk dalam kawasan,” bebernya.

Untuk jumlah sawit yang diterbitkan izinnya, ada 53 izin, baik itu izin lokasi, izin prinsip dan baru memiliki hak guna usaha (HGU). “Umumnya perusahaan sawit di Sultra belum ada HGU, yang kami perkirakan baru 10 perusahaan yang mengantongi HGU,” sebutnya.

Setiap perusahaan sawit, lanjut Kisran, memiliki luasan kurang lebih 20 ribu hektare. Keberadaa tambang dan sawit ini, sudah mulai dirasakan masyarakat. Bencana banjir dan longsor yang akhir-akhir ini melanda Sultra, tidak lepas dari pengaruh industri ekstraktif itu.

“Umumnya aktivitas industri ekstraktif sudah pasti merusak, baik merusak darat, laut dan pencemaran udara. Ikut mempengaruhi perubahan iklim sehingga cuaca kita tidak menentu,” pungkasnya.(adm)

 

 

 

 

 

 

Sumber : Inilahsultra

Facebook Comments