BATAUGA, Rubriksultra.com – Surat Penghentian Penyidikan (SP3) yang dikeluarkan Polres Mimika terhadap kasus pembuatan ijazah palsu untuk terduga Reki Tafre kembali mendapat sorotan dari tokoh masyarakat Buton Selatan, La Ode Budi.
Pria yang mendampingi Yohanes Fritz Aibekob, Zeth Sonny Awom dan Ridwan Azali saat gelar perkara kasus ini di Mabes Polri pada 20 November 2017, menilai ada kejanggalan dalam penghentian penyidikan kasus tersebut.
Menurutnya, penyidik Polres Mimika belum merujuk pada alat bukti sah lainnya yang diatur dalam pasal 184 KUHAP. Diantaranya rujuk jawaban Kemendikbud atas surat Polda Sultra No. B/428/III/2017/Ditreskrimum tanggal 23 Maret 2017 perihal permintaan penjelasan kode ijazah dan persyaratan pendidikan formal.
“Kode nomor ijazah tahun 2005 La Ode Arusani adalah kode ijazah untuk Nusa Tenggara Barat (23) sedangkan Papua adalah nomor 25. Secara warkah, ijazah No. 23 bukan untuk peserta UN yang lulus di Papua,” jelas La Ode Budi melalui sambungan telepon selulernya.
Kejanggalan lain terlihat pada pada mata pelajaran keterampilan pertanian (muatan lokal) yang tidak diajarkan di SMPN Banti, yang ada adalah keterampilan Kesehatan. Disisi lain tahun usia 30 tahun tidak mungkin diterima sebagai murid SLTP apalagi didaftarkan mengikuti ujian nasional.
SMPN Banti, lanjut La Ode Budi, didirikan untuk anak Papua disekitar Tembagapura. Bahkan suku Papua di luar Tembagapura, baru ada pada tahun 2012.
Sehingga La Ode Arusani tidak mungkin tercatat sebagai siswa di sekolah tersebut. Apalagi pada tahun 2005 Banti adalah daerah konflik, masuk kesana harus mendapat izin khusus dari freeport atau TNI.
“Tidak ada alasan La Ode Arusani pergi sekolah ke Banti Tembagapura yang harus berjalan kaki 5 hingga 7 jam pulang-pergi, padahal STLP negeri juga ada di Timika,” sambungnya.
Alumni Institut Pertanian Bogor ini mengaku pihaknya belum menempuh upaya praperadilan terkait pemberhentian penyidikan perkara tersebut. Untuk sementara, masih menunggu hasil keputusan pemeriksaan yang dilakukan tim Propam Mabes Polri.
“Baru terlaksana pemeriksaan Propam paling cepat setelah satu bulan aduan, kita masih menunggu. Ujung pemeriksaan Propam kemungkinan adalah gelar perkara di Bareskrim Mabes Polri, seperti surat Bareskrim ke DPP Kibar Indonesia yang juga ikut mengawal kasus ini,” ungkap pria yang juga Bendahara Umum Kibar Indonesia ini.
La Ode Budi juga menyikapi tanggapan dingin kuasa hukum Arusani, Imam Ridho Angga Yuwono SH. “Kuasa hukum santai saja atas kasus ini jika yakin benar. Kan kebenaran ijazah palsu ini proses hukum, jadi siapkan saja argumentasi hukum,” paparnya.
“Ingat, La ode Arusani itu terduga di laporan penggunaan ijazah ke Mabes yang diteruskan penanganannya oleh Polda Sultra. Dan belum ada kesimpulan hukum dari Polda Sultra. Kita sudah siap pengacara pra peradilan, jika Polda Sultra SP3 juga,” sambungnya.
Dikatakan rasa ingin tahu masyarakat ingin ada kejelasan dalam kasus tersebut. Namun proses hukum perlu waktu. Karenanya dihimbau, warga Busel tetap sabar dan La Ode Arusani sebagai Plt Bupati Busel tidak usah terganggu dalam menjalankan tugas pembangunan daerah. Biar kasus ini ditangani pengacara saja.
“Surat SMPN Banti No. 421.2/005/SMP-NB/II/2017 yang ditandatangi Markus Sombo SPd sebagai kepala sekolah yang baru, menerangkan SMPN Banti Mimika baru melaksanakan ujian nasional di tahun 2006 dan atas nama La Ode Arusani tidak pernah tercatat sebagai siswa SMPN Banti.”
“Surat ini belum dirujuk pada pertimbangan SP3 yang diterbitkan Polres Mimika. Sehingga bisa menjadi alat bukti baru yang sah untuk membuka kembali penyidikan kasus pembuatan ijazah palsu atas nama La Ode Arusani,” tutupnya. (war)