PASARWAJO, Rubriksultra.com- Festival Budaya Tua Buton menampilkan beberapa festival tradisi tua yang saat ini terus dilestarikan pemerintah Kabupaten Buton. Salah satunya budaya Dole-dole yang menurut kepercayaan masyarakat setempat berfungsi sebagai sistem imunisasi alami untuk anak-anak.
Laporan : Sukri Arianto
Sabtu 24 Agustus 2019, halaman kompleks perkantoran Takawa, Kabupaten Buton sebagai lokasi pelaksanaan Festival Budaya Tua Buton sudah disesaki manusia saat roda kendaraan yang kami tumpangi berhenti. Jarum jam saat itu baru menunjukkan pukul 08.05 Wita.
Disayap kiri kompleks Takawa, tenda super luas memenuhi halaman. Dipintu masuk sebelah kanan, beberapa anak balita sudah dilucuti pakaiannya sebagai syarat mengikuti tradisi tua Dole-dole ini.
Hanya beberapa utas benang kuning hasil olesan kunyit terikat di leher, pergelangan tangan dan perut mungil mereka.
Para orang tua balita mengantri menunggu giliran prosesi sambil menggendong sang buah hati. Sebab festival dole-dole ini dilaksanakan secara massal dan diikuti sebanyak 219 anak balita.
Hiruk pikuk prosesi dole-dole ini cukup meriah. Tangis balita dan senyum tawa orang tua bercampur satu.
Saat balita diserahkan kepada Bhisa (orang tua yang melakukan dole-dole), gelagat para balita mulai terlihat. Ada yang memasang muka takut hingga tangisnya meledak, ada yang biasa-biasa saja dan ada juga yang merasa geli dan tersenyum bahagia.
Bhisa lalu menggendong balita dan seterusnya membaringkannya diatas daun pisang. Sang balita lalu dilumuri minyak kelapa disekujur tubuhnya sambil mengguling tubuh bayi ke kiri dan kekanan sebanyak tiga kali.
Usai itu, balita diberi satu butir telur. Bhisa juga menyuapi sang anak dengan makanan yang tersedia untuk menenangkan usai prosesi dan mendoakannya dibawah asap dupa kemenyan.
“Minyak ini dari kelapa asli. Saat dimasak tidak boleh hangus atau terlalu hitam, artinya saat minyak sudah keluar dan ampasnya mulai kekuningan maka minyak kelapa langsung diangkat dari perapian,” kata Ibu Ani, salah satu Bhisa dole-dole di festival budaya tua Buton.
Ibu Ani menjelaskan, minyak kelapa yang dioleskan ke tubuh anak dipercaya bisa menghilangkan kuman sebagai sumber penyakit. Utamanya penyakit kulit seperti kudis dan penyakit lainnya.
“Jadi ini semacam imunisasi, agar anak tidak sakit-sakit dan terhindar dari segala penyakit. Penangkal virus istilahnya,” jelas Ibu Ani.
Selain minyak kelapa, didepan Bhisa juga tersedia dua periuk kuningan yang diatasnya diletakkan ikan jenis Bubara. Didalam periuk pertama terisi nasi pulut merah dan periuk lainnya berisi ubi jalar, keladi, kabasa (Ubi yang dihaluskan dan dicampur gula), dan telur.
Ternyata, isi kedua periuk kuningan ini tak boleh sembarangan. Ada filosofi dan makna dibalik isi periuk kuningan itu.
Kata Ibu Ani, periuk berisi nasi pulut melambangkan keharmonisan anak dan orang tua. Nasi pulut yang bertekstur lengket dipercaya akan membuat hubungan anak dan orang tua tak terpisahkan.
Lalu periuk kedua berisi ragam ubi-ubian melambangkan pikiran sang anak. Dengan keberagaman berfikir maka anak tidak akan mudah gundah atau gelisah, sedih, dan bimbang.
“Jadi semua itu kita tanamkan sejak masih anak-anak. Melalui prosesi dole-dole inilah kita mintakan kepada sang pencipta alam,” katanya.
“Ada juga ikan. Ini ikan Bubara. Tidak boleh juga sembarang ikan. Bubara ini melambangkan sifat penurut. Jadi harapannya anak patuh dan tidak melawan orang tuanya,” sambung Ibu Ani.
Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Buton, La Ode Syamsuddin mengatakan, festival Dole-dole adalah tradisi tua yang diwariskan secara turun temurun, yang merupakan imunisasi secara alamiah bagi masyarakat Buton.
Prosesi Dole-dole dilaksanakan untuk anak yang berumur di bawah lima tahun. Pelaksanaannya juga, kata dia, biasanya dilengkapi dengan pemberian nama bagi anak.
Dalam rangka menumbuhkembangkan tradisi ini, Pemerintah Kabupaten Buton sejak tahun 2013 telah mencanangkan penyelenggaraan Dole-dole secara massal sebagai rangkaian pelaksanaan festival budaya tua. Tradisi ini akan terus dilaksanakan, apalagi festival budaya tua sudah masuk dalam kalender tahunan pariwisata nasional.
“Alhamdulillah, pada festival 2019 ini, penyelenggaraan festival Dole-dole diikuti oleh 219 anak,” katanya.
La Ode Syamsuddin menambahkan, tradisi tua Dole-dole ini berawal dari masa anak-anak seorang Raja Buton bernama Betoambari. Kala itu, Betomabari terus sakit-sakitan.
Atas petunjuk melalui meditasinya, diperoleh jawaban bahwa harus dilaksanakan Pedole-dole untuk anak sang raja itu. Setelah dilaksanakan prosesi, Betoambari sembuh dan tumbuh sehat seperti anak lainnya.
“Sehingga Raja pada saat itu menginstruksikan agar semua masyarakat di wilayah Buton melaksanakan tradisi itu kepada anak-anaknya. Nah, tradisi ini menjadi komitmen pemerintah daerah untuk terus dilestarikan hingga masa mendatang secara turun temurun sebagai warisan budaya kita,” katanya. (***)