Buton Bisa Selamatkan Demokrasi Indonesia (Bagian 2)

Ir. La Ode Budi

Penulis : Ir. La Ode Budi
Bendahara Umum DPP Kibar Indonesia

Para pemilih datang membawa kartu undangan. Tapi sepertinya mereka salah lokasi. Yang mereka hadapi adalah pocong, hantu, kuntilanak dan beraneka makhluk aneh. Semua sosok yang menakutkan.

- Advertisement -

Bukan panitia TPS untuk pemilu yang biasa mereka hadapi. Rasa aneh terkejut berubah jadi canda tawa, setelah tahu bahwa petugas KPPS sengaja mengenakan baju demikian.

“Biar pemilu ini kita hadapi dengan kegembiraan. Jujur dan adil itu harus, gembira kan pilihan,” kira-kira demikan penjelasan ketua KPPS (TPS 073, Lebak Bulus – Jakarta, 17 April 2019).

Peristiwa di atas sekedar gambaran, bahwa masyarakat senang berpartisipasi mendukung KPU dalam melaksanakan tugas negara. Melalui kegembiraan tersebut, KPPS berharap tingkat partisipasi dari para DPT di TPS tersebut dapat maksimal. Salah satu ukuran keberhasilan pemilu adalah tingkat partisipasi pemilih, karena akan menguatkan legitimasi atas hasilnya.

Saat Deklarasi Kampanye Damai Pilpres 2019 di Monas, juga para peserta didorong untuk berpakaian daerah. Jokowi tampil berpakaian sunda (daerah 2014 kalah) dan Prabowo berpakaian jawa (daerah pemilih terbesar, penentu kemenangan 2019) dan juga pengurus parpol lainnya. Artinya, partisipasi budaya, dapat diselipkan dalam rangkaian acara pemilu.

Salah satu masalah besar terkait Pilkada adalah politik uang (money politik). Di permukaan, calon banyak menyuarakan gagasannya. Tapi di tingkat bawah, gagasan calon tidak dicerna baik oleh rakyat, terkubur oleh perkiraan tawaran uang sebagai “terima kasih” dari para calon.

Padahal politik uang mengakibakan kerugian daerah yang sangat besar, yaitu akan ada figur berpotensi tidak bisa ikut atau tipis peluang untuk menang karena tidak banyak uang untuk bisa dibagikan.

Dan yang terpilih juga akan “diikat kakinya” oleh kewajiban mengembalikan biaya yang telah dikeluarkan dalam proses pilkada. Tentu ada saja saja pengecualian atas hal ini (dana kecil tapi menang pemilu).

Baca Juga :  Empat Prinsip Ditegakkan, Mendahului Sara Pataanguna

Masalah politik uang ini susah sekali dipecahkan, karena walaupun telah ada sangsi yang berat, tapi pembuktiannya sulit. Bisa saja dilaksanakan oleh yang tidak terdaftar sebagai tim sukses, sehingga tidak juga bisa menjangkau calonnya.

Ditambah tingkat permisif dari masyarakat, membuat hal ini lebih sulit lagi dibuktikan. “Masyarakat yang minta”, bagaimana mereka akan melapor?.

Dari masyarakat juga muncul pikiran, janji politik tidak bisa dipercaya lagi. Dari pada saya kecewa lagi nantinya (lima tahun ke depan), setidaknya ada yang saya terima hari ini (uang).

Solusi dari KPU atas hal ini sudah ada, yaitu mengikat peserta Pilkada dengan pakta integritas dan edukasi masyarakat, agar mereka jangan menjual suara dengan murah. Jangan pembangunan lima tahun ditukar dengan seratus dua ratus ribu.

KPU mengadakan acara pembacaan sumpah “pakta integritas dan pemilu damai” dan peserta tandatangan prasasti akan mengikuti pemilu dengan jujur dan tidak membagikan uang untuk mencapai tujuannya. Biasanya ini dilaksanakan dalam bentuk upacara khusus, ditonton masyarakat, dengan harapan para peserta akan patuh dan terikat dengan komitmennya tersebut.

Kedua, edukasi ke masyarakat untuk tidak menjual suaranya. Jangan pilih kalau ada yang beri uang !!! Kampanye “anti politik uang” dilakukan oleh KPU dan Bawaslu. Bawaslu mengingatkan masyarakat ada hukuman pidana yang berat jika calon membagikan dan rakyat menerima uang dalam proses pemilu.

Kita sangat mengharapkan kedua upaya KPU dan Bawaslu ini berhasil. Rakyat sendiri yang menolak dan bahkan tidak mau memilih jika ada tim sukses calon yang menawarkan uang.

Prakteknya, di lapangan Calon akan digoda oleh pertanyaan dari tim sukses bahwa siapa yang menjamin tim “peserta sebelah” tidak bagikan uang. Dan sejauh mana bisa dijamin sudah sedikit/tidak ada lagi masyarakat yang mau terima uang (untuk mendukung). “Kita sudah kalah walau belum hari coblos, jika tidak bagikan uang”.

Baca Juga :  Masyarakat yang Mengamini Politik Uang Idealnya Tidak Lagi Menuntut Perubahan

Singkatnya, saat ini kemungkinan “uang masih bicara dalam pilkada”. Sambil berharap “kampanye anti politik uang” dari KPU dan Bawaslu berhasil, masyarakat madani bisa berpartisipasi membantu KPU dan Bawaslu atasi masalah ini.

Caranya? Yaitu memanfaatkan kearifan lokal yang sudah ada di Sulawesi Tenggara, yaitu dalam pemilihan Sultan di Kesultanan Buton. Sumpah adat ini “diselipkan” dalam rangkaian acara, misalnya setelah upacara pakta integritas dan pemilu damai.

Tiap peserta dipersilahkan membuat sumpah dari diri mereka sendiri, misalnya : “Saya bersumpah kepada Tuhan yang Maha Kuasa, dihadapan masyarakat. Saya siap kena bala dan hukuman tidak selamat dunia akhirat, jika dalam mencapai tujuan saya memenangkan pilkada ini, saya membagikan uang, baik oleh saya atau tim saya.”

Beda dengan sumpah adat, pakta integritas sudah dianggap formalitas, peserta hanya melafalkan atau mengikuti yang dibacakan. Sumpah datang dari Panitia.

Sedangkan sumpah adat, sumpah itu datang dari sang calon sendiri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, tanah kelahiran dan masyarakat.

Telah terbukti dalam sejarah, sumpah adat ini “datang langsung” akibatnya, jika dilanggar.

Melalui adanya sumpah adat ini, diharapkan ada kepastian tiap tim tidak ada lagi yang membagikan uang. Upaya pemenangan akan fokus pada adu gagasan dan menjual rekam jejak dari Calon.

Sumpah adat ini bisa diinisiatifkan oleh KPU ditawarkan kepada para peserta, bisa tawaran dari Bawaslu untuk memperkuat terjaminnya Pilkada jujur dan adil, dari DPRD atau dari masyarakat madani (ormas).

Siapa saja yang mengusulkan pasti akan dicatat memiiki kontribusi bagi kemajuan daerah, dengan terpilihnya pemimpin yang kredibel, karena dipilih melalui proses yang terpercaya. Pilihan rakyat, itulah ketetapan Tuhan.

Kalau ada yang bertanya, apa jaminan dari sumpah adat ini akan lebih mengikat peserta? Jawabannya : kita berupaya dulu, manfaatkan kearifan lokal yang ada untuk melindungi kepentingan kita bersama, baru kita berserah kepada Yang Kuasa.

Baca Juga :  Pemprov Sultra, Tidak Ada Alasan? Cabut IUP di Konkep

Orang jawa bilang : Gusti ora sare ! Semoga bermanfaat. (adm)

Facebook Comments