Oleh : Ir. La Ode Budi
PERADABAN suatu bangsa bisa tumbuh dan abadi jika didukung oleh nilai-nilai luhur. Nilai-nilai itu bisa juga ditanamkan seorang pemimpin (atau diwariskan sebagai kebijaksanaan kolektif dari generasi awal (mancuana).
Nilai-nilai itu misalnya : Kejujuran, Keunggulan pengetahuan dan sains, saling menghormati, dan kerjasama. Pada bangsa yang unggul, nilai-nilai ini hidup dan menjadi pembentuk cara pandang dan sikap serta menjadi pondasi kebersamaan bangsa tersebut, hingga berumur panjang.
Indonesia dapat terjaga keutuhannya karena adanya Pancasila. Pancasila digali dan ditemukan sebagai formulasi sikap dasar manusia Indonesia.
Lalu Pancasila diajarkan dan diupayakan dihayati oleh segenap generasi muda melalui pendidikan (Pendidikan Moral Pancasila), sehingga hingga hari ini NKRI utuh terjaga.
Dan “kealpaan” penanaman nilai-nilai Pancasila telah sempat membuat kita terlena dan tercabik hingga marak mengutamakan kedaerahan dari pada kesatuan nasional.
Nilai-nilai yang dianut negara Singapore dibentuk oleh Lew Kuan Yew dengan mengedepankan nilai Kejujuran dan Disiplin. Rakyat Singapore “dipaksa” kalau ingin mencapai sesuatu, harus melalui pengetahuan dan keunggulan diri (tidak lompat pagar).
Kompetisi atas suatu jabatan atau kesempatan usaha harus adil dan benar. Disiplin kebersihan disana luar biasa ketat, dan mendapatkan denda yang besar jika melanggar. Apa akibatnya? Singapore menjadi negara yang pesat sekali perkembangannya.
Kepulauan Buton beruntung karena para mancuana kita telah mewariskan nilai dasar orang Buton yaitu Sara Pataanguna, yaitu : Pomaemaeka, Poangka angkataka, Pomamaasiaka dan Popiara piara; yang dibungkus/diikat oleh (Falsafah rasa) Bhinci bhinci kuli).
Hanya saja menanamkan nilai-nilai tidak bisa “sambilan”. Nilai dasar orang Buton ini tidak bisa hanya diketengahkan hanya melalui pidato atau saat acara adat. Tapi harus jadi pendidikan dasar di sekolah.
Sehingga segala perilaku yang diekspresikan generasi muda sudah terbiasa adalah ekspresi otomatis dari Sara Pataanguna ini. Menyatu dalam jiwa mereka dimanapun mereka berada.
Pendidikan sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi ini, dapat dijadikan sebagai muatan lokal di sekolah-sekolah (porsi jumlah jam belajar tertentu).
Murid-murid diajarkan tentang jati diri mereka sebagai orang Buton, adalah menghayati sikap dasar Sara Pataanguna. Memandang suku lain, bahasa lain sesama orang Buton dengan titik acu nilai ini.
Perpecahan dan saling dendam antar desa atau antar pemuda selama ini, adalah nyata kealpaan dalam penghayatan nilai-nilai Buton ini.
Sara Patanguna ini juga harus dibahas bersama dan diupayakan penghayatannya antar “orang tua”. Tradisi bermusyawarah dan menghidupkan nilai dasar ini bukan karena ada masalah, tapi karena nilai dasar orang Buton ini adalah titik acu dan modal kemajuan kita di Buton.
Jangan terjadi, nilai-nilai bersama warisan leluhur ini baru diingat ketika ada masalah. Lembaga adat diundang menjadi pemadam kebakaran atas konflik atau perpecahan yang muncul. Padahal akar masalahnya adalah kealpaan untuk menanamkan, menghayati dan mengamalkan nilai dasar Buton ini.
Penanaman nilai-nilai “khas” Buton ini kepada generasi muda dan masyarakat pada umumnya, hingga jajaran pemerintahan, akan menjadi sumbangan yang besar bagi bangsa dan negara Indonesia.
Karena senafas dengan Pancasila yang menginginkan semua manusia Indonesia bermartabat, mendapatkan kesempatan yang sama untuk mencapai cita-cita melalui Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan mengedepankan musyawarah dan rasa kesatuan dalam menghadapi tantangan kehidupan berbangsa.
Saya percaya, modal dasar kemajuan Provinsi Buton adalah pada nilai-nilai luhurnya. Dan memetik buah atas nilai luhur Buton itu dimulai saja hari ini, melalui pendidikan Sara Pataanguna di sekolah-sekolah dan ada upaya sistimatis untuk dihayati kembali oleh seluruh komponen orang Buton, baik dalam pemerintahan hingga tomas dan generasi muda di pelosok desa.
Silahkan para Kepala Daerah di Kepulauan Buton memulainya. Mohon maaf, tabe’…. saya juga termasuk yang masih harus belajar. Kabarakatina tana Wolio. (***)