Oleh : Muhamad Asrul Salam
Ketua Kelompok Sadar Wisata Dadi Mangura Keraton Molagina
“Orang Buton hari-hari Haroa”. Kalimat tersebut sangat familiar ditelinga orang Buton.
Bukan suatu hal yang tidak beralasan, aktivitas haroa bagi orang Buton cukup sering dilakukan. Sehingga benarlah ungkapan dalam pembuka tulisan ini.
Dizaman dahulu, bagi sebagian besar anak-anak masyarakat Buton (termasuk penulis), ketika mendengar kata “Haroa” maka yang terbayang dalam benak adalah “Ayam, pokoknya makan enak lagi”.
Pasalnya, saat haroa dan setelah tetua adat membaca doa, keluarlah talam yang disajikan dihadapan kita. Saat dibuka, maka makanan-makanan yang jarang dilihat dalam sehari-hari, seperti manu nasu Wolio, ikane dole, waje, dan lain sebagainya menjadi kenikmatan yang hakiki bila dicicipi.
Terlepas dari enaknya sajian dalam talam haroa, tidak jarang juga ada orang yang tidak senang dengan tradisi haroa itu. Pun begitu, penulis tidak ingin bermaksud untuk menyalahkan orang-orang yang tidak suka dengan tradisi yang sudah turun temurun ini, mereka beranggapan demikian karena punya pemahaman juga tentang hal tersebut.
Dalam buku yang berjudul “Haroa dan Orang Buton”, karya Dr Kamaluddin Z. M.Pd, Dr Moh Tasdik SH MH, Dr Nurnia MA, Ir Asnur Addin dan Muh. Ahadyat Zamani, ST MT menuliskan, bahwa Haroa adalah ritual/perayaan baik dalam memperingati hari-hari besar Islam maupun ritual yang dilaksanakan dalam aspek lain yang sarat dengan makna dan nilai.
Secara sederhana, makna dan nilai yang diperoleh dari tradisi haroa dapat dibagi dalam tiga bagian.
Pertama, dari sisi agama (Islam), haroa merupakan wadah syiar agama, sekaligus untuk dapat mendekatkan diri kepada Sang Pencipta karena tidak ada haroa yang didalamnya tidak berdoa dan membaca ayat-ayat suci Al-quran.
Dalam prosesi haroa, kita berdoa dan memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar diampuni dosa-dosa kita serta memohon kebahagiaan dunia dan akhirat.
Kedua, dalam sisi sosial kemasyarakatan, haroa sebagai ajang silaturahmi dan dapat meningkatkan hubungan kekeluargaan yang diharapkan akan selalu terjadi hubungan yang harmonis dalam masyarakat. Acara haroa selalu diakhiri dengan bersalaman diantara warga masyarakat yang menghadiri acara tersebut.
Ketiga, dari sisi kesehatan diharapkan nilai gizi masyarakat akan mengalami peningkatan karena dalam acara haroa terdapat berbagai macam makanan dan kuliner yang bergizi yang tidak setiap saat dapat dikonsumsi.
Haroa juga merupakan salah satu wujud ungkapan rasa syukur kepada sang pencipta atas rezeki, anugerah yang diberikan kepada hambanya. Sehingga dipanjatkanlah doa kepada sang Khalik agar kiranya hambanya selalu diberi rezeki, umur panjang dan berbagai keberkahan yang kemudian rezeki tersebut dapat dibagi kepada sesama.
Dalam tradisi masyarakat Buton, dikenal berbagai macam jenis haroa. Diantaranya, Haroana Pakandeana Ana-ana Maelu, Haroana Maludhu, Haroana Rajabu, Haroana Limbaisiana Banua, dan lain-lain.
Khusus bulan Rabiulawal di Buton dikenal dengan Haroana Maludhu (Maulid). Dalam buku “Haroa dan Orang Buton”, kata Maulid atau Milad dalam bahasa Arab berarti “hari Lahir”.
Maulid Nabi Muhammad SAW adalah peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW. Kelahiran yang dimaksud disini mengisyaratkan kelahiran baginda Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada hari Senin 12 Rabiulawal tahun gajah.
Masyarakat Buton menyambut bulan Rabiulawal dengan penuh kegembiraan. Ini merupakan wujud kecintaan masyarakat buton kepada Nabi Besar Muhammad SAW, bahkan dikenal dengan istilah “Bula Kasongoana Rasulullah Muhammad Saw”, atau bulan sepenuhnya khusus untuk Rasulullah Muhammad Saw.
Haroa Maludhu dalam Masyarakat Buton dibagi dalam tiga tahapan peringatan yaitu Gorana Oputa, Haroana Mia Bhari, dan terakhir Maludhuna Hukumu.
1. Gorana Oputa.
Gorana Oputa adalah semacam tanda pembukaan untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad Saw. Jatuh pada setiap tanggal 12 Rabiulawal.
Gorana Oputa dulunya dilaksanakan oleh sultan atas nama negeri dengan tujuan permohonan agar negeri kesultanan yang dipiminnya mendapat rahmat dan terhindar dari marabahaya. Gorana Oputa dilaksanakan tepat pada tanggal 12 Rabiulawal dan dilaksanakan pada pukul 00.00 Wita, diperingati oleh Sultan bertempat di kediamannya dan bersama perangkat masjid Agung Keraton (sara kidhi).
Saat ini pelaksanaan Gorana Oputa dilakukan di kediaman Kepala daerah (Wali Kota) dengan mengundang para kepala SKPD dan tokoh-tokoh masyarakat.
2. Sangkoniana Lowo dan Haroana Mia Bhari.
Sangkoniana Lowo adalah acara maulid yang dilakukan oleh Pangka dan Yarona Pangka (Pejabat dan mantan pejabat di Kesultanan Buton). Namun ada juga yang berpendapat bahwa Sangkoni Lowo tidak menggambarkan hirarki.
Masyarakat berlomba untuk memulai acara maulid setelah Gorana Oputa dengan maksud untuk mendapatkan berkah pertama dari prosesi haroa maulid tersebut. Sedangkan Haroana Mia Bhari adalah acara maulid yang dilakukan oleh masyarakat biasa dimulai setelah selesai acara Maulid Gorana Oputa.
Sangkoniana lowo dan haroana mia bhari yaitu menyambut berkat Maulid nabi yang dilaksanakan sultan ada tengah malam, pada pukul 06.00 disambut oleh perayaan maulid masyarakat yang telah berniat jauh hari sebelumnya.
3. Maludhuna Hukumu.
Maludhuna Hukumu adalah peringatan maulid nabi yang dilaksanakan oleh perangkat Masjid Agung Keraton Buton bertempat di Galampana Lakina Agama. Tujuannya adalah menutup seluruh rangkaian peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Itulah beberapa tahapan dalam rangkaian dari perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW pada masyarakat Buton yang dikenal dengan Haroana Maludhu. Tradidi Haroa Maludhu ini dilakukan turun temurun sejak zaman Kesultanan Buton yang artinya bahwa tradisi haroa ini harus terus dilestarikan serta diamalkan sebagai warisan budaya para leluhur.
Banyak makna yang terkandung dalam tradisi haroa ini, yang salah satunya adalah menjaga tali silaturahmi antar sesama. Sehingga menjadi penting bagi kita sebagai insan Buton, terlebih para generasi muda untuk terus menjaga tradisi ini.
Tulisan sederhana ini tidak bermaksud untuk menggurui pembaca, tulisan ini ditujukan untuk saling berbagi akan tradisi budaya Masyarakat Buton.
Melalui kesempatan ini juga saya ingin mengucapkan terimaksih kepada para penulis buku “Haroa dan Orang Buton”. Buku ini banyak memberi pemahaman terhadap penulis akan makna tradisi leluhur yang disebut dengan Haroa. Akhirnya saya mohonkan maaf atas segala kekurangan dalam penulisan ini. (***)