Abu Hasan Jangan Galau

Oleh : Istighfar, SH., MH
Wakil Ketua DPD PAN Kabupaten Buton Utara

BURANGA, Rubrik sultra.com-Jadi pemimpin memang tidak mudah jika dibandingkan menjadi kepala daerah. Kurang lebih inilah yang dialami Bupati Buton Utara, Abu Hasan.

- Advertisement -

Kenapa tidak, urusan media sosial yang kekinian, kalau kita juga tidak kekinian menanggapi, memang susah “move on”.

Ada dua “point” penting buat Abu Hasan untuk menilai media sosial yang memang kekinian saat ini.

Pertama, beliau ini sebagai kepala daerah, yaitu bupati. Seharusnya bisa menggiring masyarakat lebih edukatif terhadap media sosial, bukan malah merasa terhujat, resah dan terprovokasi.

Sebagai kepala pemerintahan, edukasi media sosial yang masif harus direspon lebih normatif dengan memfungsikan OPD terkait dalam mendidik masyarakat kita, karena ini juga adalah penting sebagai bagian integral pembangunan.

Kedua, sebagai pemimipin yang bersifat personal dalam interaksi sosial, hak sebagai warga negara pun dijamin setiap kebebasan yang terlindungi. Jika terusik beliau khan tahu dan sudah menyebut pelanggaran Undang-udang, silahkan adukan sebagai “personality”.

Sebenarnya problem subtansi bukan disitu. Saya menilai reaksional beliau terhadap media sosial sebenarnya beliau sangat paham. Ini adalah tahun politik, masifnya media sosial, besar atau kecilnya adalah bias momentum pilkada 2020 di Butur memiliki relasi kuat yang resistensinya adalah di moment ini.

Dunia maya dan dunia nyata saat ini terhadap momentum setiap pilkada, berbanding lurus sebagai variabel opini dalam memainkan isu.

Yang paling fundamental kembali kepada nilai figuritas yang memiliki elektabilitas publik, bahwa kemudian dimedia sosial sebagai konsekuensi teknologi informasi pada sisi interkasi sosialnya, memang tak bisa kita menolak. Istilah hoax, buzzer, akun palsu dan segala kepentingannya membutuhkan pemahaman tinggi akan konsekuensi tersebut.

Baca Juga :  Melihat Dampak Covid-19 Terhadap Ketenagakerjaan di Provinsi Sulawesi Tenggara

Regulasi yang mengaturnya dan karakter penggunanya, media sosial pun membutuhkan niat baik dan bijak bagi pengguna. Bahwa kemudian digunakan untuk “melawan” perbedaan sikap poltik, itu sah sah saja di frame demokrasi. Penegakan aturan mainnya, media telah memberikan kita berita akan konsekuensinya dan tata cara pengelolaannya.

“Abu Hasan jangan galaulah”.

Kita publik figur, kepala daerah sampai semua kelas status sosial, media sosial kedepan tetap akan terinterasikan. Anggaplah setiap mometum, dinamika media sosial akan menyoroti itu (Momentum pilkada,red).

Memisahkan personalitas antara pribadi dan pejabat publik, sebagai pemimpin sebaiknya disikapi dengan tindakan yang dapat mengedukasi masyarakat. Karena pada akhirnya masyarakat memiliki pemahaman akan penggunaan media sosial yang lebih bertanggung jawab termasuk segala konsekuensinya.

Berbeda pilihan atau apapun niat serta tujuan penggunaan dunia maya dengan kebutuhan dan kepentingannya, pastilah berelasi dengan dunia nyata. Momentun dan bias yang akan terjadi, silahkan dinilai dan disikapi atau bahkan ditindaki juga berdasarkan kepentingan dan kebutuhan kita masing-masing.

Dengan begini, fundamental makna edukasi teknologi informasi jelas memiliki asas manfaat buat masyarakat, yang pada akhirnya menjadi bagian integral dari pembangunan itu sendiri. (***)

Facebook Comments