Oleh: Ir. La Ode Budi
Saat masih kecil, dua hal yang penulis tidak bisa lupakan adalah kegiatan “Bubusi” dan ucapan “Kabarakatina tana wolio”.
Bubusi artinya pergi ke kuburan orang tua, leluhur atau ulama sholeh untuk memanjatkan doa dimudahkan urusan dan mendapatkan jalan kebaikan atas urusan yang sedang dihadapi.
Mau berangkat ke Jakarta, orang tua mengajak membasuh kuburan leluhur, dan berdo’a agar keselamatan di perjalanan dan bisa mencapai tujuan di negeri orang, dalam keridhoan Allah SWT.
Pulang juga demikian. Upayakan siram dulu dan berdoa di kuburan leluhur, sebelum kunjungi keluarga atau pergi untuk suatu urusan.
Satu lagi, biasa kalau berhadapan dengan pekerjaan besar atau ujian, diminta orang tua mengawalinya dengan ucapan “Kabarakatina tana wolio”.
Saya bahas dulu kabarakatina tana wolio, sedangkan bubusi pada kesempatan lain.
Kata kunci kalimat tersebut adalah “Kabarakatina”, akar katanya “Baraka”.
Baraka, artinya ziyadatul khair atau tambahan kebaikan dari fungsi atau kegunaan aslinya.
Permohonan barakah (berkah) selalu kita panjatkan dalam doa kita untuk minum makan (tentu hafal doanya).
Kita mohonkan makanan kita diberkahi, artinya tidak hanya menghilangkan dahaga atau lapar (khasiat asli makanan), tapi juga kita mohon agar makanan itu membantu kita tercegah dari api neraka.
Artinya, disamping memberikan tenaga, juga kita harap makanan itu mendorong kita untuk melakukan amal sholeh dan menahan kita dari perbuatan mungkar (mencelakakan orang lain atau mengambil yang bukan hak kita, misalnya).
Barakah atau berkah juga hadir saat makanan terbatas, tapi bisa mengenyangkan banyak orang. Padahal porsinya tidak bertambah, orangnya yang bertambah, tapi semua kenyang atau mendapat cukup tenaga.
Do’a ibunda saat memasaknya, telah menjadikan makanan itu berkah.
Terkait tanah atau tempat yang diberkahi, satu contoh disebutkan dalam Al Quran adalah Masjid Aqso (silahkan buka ayat terkait isra Rosulullah SAW). “Barokna haulahu” (Kami berkahi hingga mencakup sekitarnya).
Bagi orang muslim, hadir ke Makkah dan Madinah serta Masjid Aqso, bukan mengalami fisik masjidnya yang dominan dirasakan, tapi merasa mendekati Allah SWT. Kita merasa menghampiriNYa.
Berbeda dengan yang kita alami saat hadir di mesjid mesjid megah atau berkubah emas sekalipun (kagum akan bangunannya).
Kabarakatina tana wolio, artinya kita bertawasul/bersandar kepada berkah tanah wolio untuk dibukakan jalan oleh Allah SWT.
Bertawasul artinya kita menyandarkan hati kepada sesuatu untuk mendapatkan perhatian lebih (kabulan doa) dari Allah SWT.
Hal ini biasa kita sampaikan saat khatam al Quran, yaitu bersandar pada karomah Al Qur’an yang kita baca, kita menyampaikan banyak doa kepada Allah SWT. Bahkan dari tiap hurufnya.
Kita juga biasa menjejerkan air dan makanan, saat doa haroa, agar air dan makanan itu diberkahi Allah SWT.
Dikisahkan Rosulullah SAW, bertawasul pernah dilakukan oleh tiga pemuda yang terkurung dalam goa. Mereka tidak dapat membuka tutup goa. Lalu mereka bergantian bertawasul, berdoa kepada Allah SWT dengan menyebutkan kebaikan yang pernah mereka lakukan. Satu demi satu maju, hingga pintu terbuka sempurna untuk mereka dapat keluar. (HR Bukhari No. 2272 dan Muslim No. 2743).
Terkait dalil tawasul silahkan buka QS : Al Maidah 35, dan Al Isra 57.
Ini hanya sedikit penjelasan tentang dalil “tawasul”. Silahkan dalami pada ajaran ahlul sunna wal jama’ah, atau biasa dipegang oleh kalangan Nahdhatul Ulama.
Ada juga yang beranggapan bahwa do’a di kuburan atau tawasul itu bid’ah atau bahkan syirik. Saya memilih tidak berargumen di tulisan singkat ini.
Silahkan mendalaminya masing-masing.
Lalu bagaimana tanah Wolio bisa berkah?
Mungkin kita pernah mengetahui penelitian ahli Jepang, yang menyatakan ada air yang setiap saat dipuji, dan ada air yang terus dicaci.
Hasilnya, air yang sering dipuji puji berwarna indah, sedangkan yang sering dicaci berwarna buram.
Saya meyakini Buton adalah tanah yang dipenuhi do’a dan kesucian dari para leluhur yang dekat dengan Allah SWT.
Banyak doa dari para orang tua dan leluhur suci untuk tanah ini agar diberikan kebaikan dan disayangi Allah SWT.
Tanah yang diberkahi ditandai banyak kearifan dan hakikat Islam diamalkan disana.
Satu diantaranya adalah pemilihan Sultan yang mengikuti tata cara khulafaurrasyidin. Tidak dari keturunan, tapi ada penelitian yang begitu teliti bahkan dari masa kecilnya dan dimusyawarahkan oleh para ahli serta meminta petunjuk kepada Allah SWT. Hingga diberi gelar “khalifatul khamish”.
Kesultanan Buton dapat berdiri tegak dan memiliki harga diri yang diakui.
Kabanti adalah kearifan terkait hubungan manusia dan Tuhan dan sesama manusia serta alam. Dan ada pesan fundamental kemanusiaan pada UUD kesultanan “Martabat Tujuh”.
Tasauf dan marifat sangat melandasi beragamanya para leluhur tana Wolio.
Ketika kita menyebut “kabarakatina tana wolio”, kesadaran kita terhubung dengan berkah yang tertanam, atas do’a para leluhur, di tanah ini.
Kita bertawasul dengan marifatnya para leluhur dan barokahnya tanah ini, kita mohonkan Allah SWT membukakan jalan bagi urusan/hajat atau kehidupan kita.
Bagaimana dengan keadaan tanah Wolio saat ini tidak seperti yang digambarkan “diberkahi”?.
Itu terpulang kepada kita semua, apakah masih berpegang pada nilai-nilai Buton atau tidak. Atau cari kuasa segala cara, angkara murka atas lawan politik dan semata dunia jadi motivasi kehidupan kita.
“So inggita si, bolimo te mia” atau kembali berpegang pada kearifan para mancuana dalam berdaerah.
Ini adalah pandangan pribadi. Jika ditemukan pandangan yang lebih benar, silahkan berpegang padanya.
Terima kasih. Kabarakatina tana Wolio. (***)