Oleh: Ir La Ode Budi
Kata “konservasi” populer ketika muncul desakan agar dunia menjaga alam, seperti hutan atau lautan. Tujuannya adalah agar kekayaan nutfah, gen, binatang dan tanaman langka atau tanaman belum diketahui khasiatnya berikut habitatnya harus terjaga lestari dan jangan sampai musnah.
Banyak suku-suku pedalaman yang mendapatkan bahan pangan dan obat langsung dari hutan. Mereka ketat menjaga hutannya untuk tidak diganggu (ditebang). Jenis tanaman obat itu banyak belum diungkap medis.
Saat ini makin luas kesadaran tentang pentingnya ekologis untuk menunjang bumi. Manusia tanpa alam yang sehat, adalah bunuh diri massal.
Sebagian ahli bahkan menghubungkan penyakit kanker, dan epidemik seperti SARS dan CORONA, adalah hasil cara hidup manusia yang buruk. Sampah plastik, terlukanya ozon yang melindungi bumi, makanan terolah buruk dan kerusakan alam hasil eksploitasi telah dan akan melahirkan virus virus kejam, yang tidak terbayangkan oleh manusia.
Konservasi juga digunakan sebagai cara melindungi atau pemugaran cagar budaya. Bangunan yang memiliki sejarah, dikonservasi agar keasliannya bisa dikembalikan atau minimal terjaga. Memori kolektifnya penting untuk membentuk jati diri manusia.
Konservasi secara umum adalah menjaga keaslian atau kealamian sesuatu sehingga tetap lestari dan manfaatnya tetap terjaga.
Konservasi juga berlaku dalam konteks melindungi kearifan dan pola/cara suatu daerah mencapai tujuan. Misalnya suatu daerah memiliki pola musim tangkap ikan tertentu untuk menjamin agar ikan di laut selalu tersedia. Ada waktu “tabu menangkap” agar ikan mempunyai waktu bertelur dan membesar.
Disinilah kita perlu mengundang atau usul kepada Majelis Ulama Indonesia mengkaji dan mempertimbangkan untuk melakukan konservasi terhadap Kesultanan Buton yang nyata dibangun dari nilai-nilai Islam.
Kesultanan Buton punya banyak kekayaan “sejarah dan kearifan”. Memiliki kedaulatan yang diakui oleh mancanegara, diantaranya : Turki Usmani, Portugis, Belanda. Memiliki hubungan yang baik dengan kerajaan dan kesultanan lain, seperti Majapahit, Tidore-Ternate, Champa dan bahkan menjadi jalur eksodus tentara pelarian dari Cina.
Kesultanan Buton, negara merdeka yang memiliki mata uang sendiri, bendera, dan sistim pemerintahan (bukan bagian dari RIS). Dan paling penting adalah memiliki Undang-undang Dasar tertulis dan mengikat segenap manusia di Buton, yang disebut Martabat Tujuh.
Kesultanan Buton sebagai pusat penyebaran Islam untuk Indonesia Timur ini harus dikonservasi, agar semua situs, artefak, kearifan yang menjadi refleksi ajaran Islam disana dapat dipelihara dan dimanfaatkan sebagai referensi bagi peradaban Indonesia, kalau perlu dunia.
Semisal, tata cara memilih pemimpin (sultan). Sultan Buton tidak berganti otomatis oleh keturunan. Tapi ada proses yang telah ditetapkan terlebih dahulu oleh para bijak di daerah itu. Bahkan pada tahap akhirnya, melibatkan “istikharah” yang disebut “vali” oleh imam dan perangkat Masjid.
Di seluruh dunia ini, mungkin hanya ada di Buton, upaya melibatkan Tuhan dalam memutuskan pemimpin terpilih.
Setelah khulafaurrasyidin, kekhalifahan Islam menjadi turun temurun (bani ummayah dan bani abasyiah). Kebanyakan kesultanan juga demikian.
Tapi kepemimpinan di Kesultanan Buton, tetap menganut pola khulafaurasyidin, yaitu : kandidatnya diambil dari penelitian yang sangat teliti bahkan ditelusuri sejak dari masa kecilnya, diseleksi oleh para arif bijak dan diupaya untuk mendapat restu Allah SWT.
Dari sanalah sultan Buton diberi gelar “Khalifatul khamis” (khalifah ke – 5). Kelanjutan empat khalifah terdahulu.
Kesultanan Buton tidak pernah dijajah (bukan bagian dari RIS). Dan salah satu sultannya, sultan ke-20 dan 23, Hikmayatun Muhammad Saidi atau bergelar Oputa Yi Koo, telah ditetapkan Pemerintah, menjadi Pahlawan nasional.
Walaupun prosesnya sedemikian sakral, Sultan Buton tidak dianggap maksum (tidak bisa berbuat salah). Nyatanya ada 14 sultan yang diadili dan dihukum. Satu diantaranya dihukum mati.
Kearifan-kearifan Kesultanan Buton bisa jadi adalah “elemen” yang sedang dicari Indonesia, untuk jadi pembentuk demokrasi “khas Indonesia”.
Demokrasi adalah alat, bukan tujuan.
Alat untuk mencapai/ terjaganya kebersamaan bangsa dan tercapainya kemakmuran melalui terpilihnya pemimpin yang amanah.
Bagaimana paska pilkada di Indonesia sekarang ini?
Apakah setelah pilkada terlahir bangsa atau daerah yang bersatu. Terlahir kemajuan diupayakan oleh seluruh komponen daerah. Pemimpin dipercaya. Dan dia nyata berserah mengabdi (Bolimo karo somanamo lipu)?
Jika malah membawa banyak masalah (korupsi dan dendam pilkada), maka mungkin ada unsur atau proses yang perlu “ditambahkan” untuk menjamin hasilnya dipercaya dan kandidat terpilih adalah terbaik dari yang tersedia. Dibangun suatu proses yang “khas Indonesia”.
Horison berpikir Kesultanan Buton juga jauh mendunia.
Mendirikan benteng terbesar di dunia, dan menanam jati untuk menunjang kehidupan masa depan adalah sedikit contoh. Belum lagi sangat dikenal sebagai pelaut ulung yang menjadikan orang Buton ikut berjasa membagun “rasa nusantara” mengikat gugus pulau yang begitu banyak, cikal bakal lahirnya Negara Kesatuan Indonesia.
Makam para wali dan mesjid yang berumur ratusan tahun dan aneka seni yang merupakan ekspresi berislam, pondasi nilai-nilai dalam pembentukan manusia dan masyarakat berkemanusiaan (sara pataanguna dan pobinchi binchi kuli), kabanti, adalah kekayaan kearifan yang sangat berharga bagi peradaban.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentu berkepentingan untuk mengkonservasi kekayaan-kekayaan Islam di tanah Buton ini, karena merupakan kekayaan umat dan bangsa. Situs Islam sangat penting sebagai pembentuk identitas untuk Indonesia, sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.
MUI pasti ingin menemukan proses demokrasi yang dipangku oleh nilai kebenaran. Ini tugas penting di zaman ini.
Proses demokrasi yang semata ditopang kekuatan akal akan mudah dikelabui. Tanpa dipangku nilai dan spiritual, proses demokrasi akal malah berpotensi merusak peradaban (tata kehidupan bangsa dan negara) seperti SARS dan CORONA merusak kesehatan manusia.
Lihatlah begitu banyaknya kepala daerah yang ditangkap KPK. Apalagi jika ditambah lagi dengan yang lolos dari pantauan. Bukankah bukti ini sudah lebih dari cukup jadi pelajaran?
Dan kita beruntung Ketua MUI (walau non aktif) adalah KH. Maruf Amin, sekaligus Wakil Presiden yang menjadi pembina terbentuknya Daerah Otonomi Baru (DOB).
Konsevasi bisa dilakukan melalui pemekaran Provinsi Kepulauan Buton (Kepton). Kebetulan, semua administrasi untuk Kepton mekar telah lengkap dan semua kesultanan yang ada di Nusantara sudah dimekarkan. Tinggal Kesultanan Buton yang belum.
Kabarakatina tana wolio. (***)