Oleh: Tri Maharianti Ningsih
“Untuk apa mempelajari bahasa Asing?, itu semua hanya akan sia-sia, kenapa harus menghabiskan waktu, tenaga dan pikiran untuk mempelajari bahasa yang tidak memberikan manfaat untuk masa depanmu?”.
Pertanyaan-pertanyaan yang selalu dilontarkan beberapa kerabat kepadaku. Pertanyaan yang terkadang membuatku jatuh, bimbang yang semakin bimbang, dan mematahkan harapanku akan mimpi-mimpi indahku yang ingin melihat dunia lain diluar sana dengan 4 musim yang sangat indah saat ku bayangkan.
Ah…..bisakah aku menggapai mimpi ini?, dapatkah kudaratkan kakiku di negri yang jauh sana?, Mampukan kuwujudkan semua mimpi ini dengan semua keterbatasan yang kumiliki?.
Ah…….mustahil aku bisa mewujudkannya, sambil kurebahkan tubuhku di atas ranjang menatap langit-langit kamarku dengan berbagai pertanyaan yang bergejolak dalam pikiranku yang aku sendiri tidak mampu menjawabnya.
Aku sadar kegundahan ini hidup menghantuiku sudah bertahun-tahun. Namun, aku tetap menjalani hari-hariku dengan optimis. Aku tidak menyerah dengan mimpiku. Aku tetap mempelajari bahasa Asing yang kusuka. Aku tetap menggali dan terus menambah wawasan walaupun orang-orang disekitarku terkadang meremehkan apa yang kulakukan.
Tapi,……..inilah hobiku, inilah apa yang kusukai, inilah apa yang kuyakini dan apa yang ingin kulakukan untuk masa depanku. Hingga suatu saat aku menemukan jawaban melalui sebuah buku yang kubaca “ By Language We are master the world” dengan bahasa kita dapat menguasai dunia”.
Sesaat aku terhenti pada titik kalimat itu, kalimat yang seakan mewakili semua pertanyaan dan kegundahan yang selama ini berkecamuk dalam pikiranku. Hatiku tersentak, hasratku tiba-tiba tersentuh oleh sebuah kalimat sederhana namun mampu membakar semangatku dan membuatku yakin bahwa apa yang kulakukan, kukorbankan dan kuyakini tidak sia-sia. Seakan membakitkan hasratku bahwa mimpiku mampu kuwujudkan.
Membuatku semakin bergairah untuk membuktikan bahwa aku bisa, karena aku bukan sang pemimpi yang tertidur menutup mata, yang hanya diam dan pasrah, tapi aku sang pemimpi yang membuka mata, menggerakan kaki dan tangan, bertindak dalam doa dan keyakinan bahwa aku mampu dan bisa.
Kusandarkan badanku yang mungil dengan nyaman sambil kubuka lembar demi lembar majalah diatas pangkuanku. Sesekali aku melihat jendela di sebelah kananku, kutatapi kotaku dari atas yang semakin lama terlihat semakin kecil, dan lautan terlihat semakin luas.
Ah….sungguh indah kulihat pulau Buton dari atas awan. Sungguh menakjubkan. Baling-baling pesawat terus berputar meninggalkan kotaku semakin jauh. Huftttt……..aku menghela napas dengan senyuman bahagia, dengan pandangan kosong seakan masih tidak percaya aku sampai pada titik ini.
Oh…..ini semua seperti mimpi bagiku. Tahun 2017, tepat di usiaku yang 24 tahun ini tak kusangka bisa ke luar negeri. Walaupun tujuanku kali ini bukan negeri yang memiliki 4 musim, tapi bagiku bisa ke negeri Jiran di Kuala Lumpur pun suatu pencapaian yang menakjubkan buatku.
Ini merupakan pengalaman pertamaku bisa menjajakan kaki di negri yang memiliki menara kembar itu. Itulah pertama kali bagiku melihat dunia lain yang jauh dari kotaku. Pandanganku yang sempit tiba-tiba meluas dengan pemandangan dan hal baru yang kutemukan disana.
Sesuatu yang sangat berkesan bagiku adalah aku tau dan sadar kalau negri Jiran ini lebih maju dari negriku, mulai dari fasilitas-fasilitas umum yang tersedia, penataan kota yang rapi dan bersih membuatku takjub.
Aku tidak melihat sampah-sampah yang berserakan di sudut-sudut kota yang sering kutemui di kotaku. Aku tidak mencium aroma-aroma tak sedap dari sisa-sisa pembuangan sampah rumah tangga.
Dalam benakku berkata “aku berharap kelak kotaku bisa sebersih ini” Banyak hal yang kurenungkan saat itu, membuatku semakin berani untuk bermimpi lebih tinggi. Membuatku semakin berani mencari dan menerima tantangan yang lebih besar. Semangatku semakin membara membakar hasratku untuk terus berjuang. Iya…..aku adalah sang pejuang mimpi dengan sejuta mimpi.
Di tahun berikutnya, aku berkesempatan untuk mengunjungi pulau Jeju. Negri gingseng dengan 4 musim. Saat itu musim panas, musim yang setiap hari kurasakan di negriku tercinta, Indonesia. Namun, ini bukan tentang musim, tapi tentang pelajaran dan pengalaman yang luar biasa kudapatkan.
Pulau yang bersih, indah, dan tertata rapi dengan fasilitas-fasilitas umum yang tersedia sungguh membuatku tercengang karena banyak hal baru yang kulihat yang tidak kudapati di negriku. Tempat-tempat wisata buatan yang diciptakan begitu kreatif dan berkesan.
Aku tak heran jika banyak wisatawan yang berkunjung. Aku melihat bagaimana pedagang-pedagang disana begitu ramahnya menawarkan dagangannya.
Aku melihat bagaimana cara mereka saat bekerja, bagaimana mereka mengahargai waktu. Aku malu pada diriku sendiri yang sudah merasa puas dengan apa yang kulakukan. Aku merasa selama ini aku sudah memanfaatkan waktuku dengan sebaik-baiknya, tapi tidak.
Pemandangan ini membuatku sadar bahwa aku terlalu banyak menghabiskan waktu untuk bermalas-malasan, aku terlalu meremehkan waktu yang di berikan Tuhan padaku tanpa memanfaatkannya dengan baik, aku terlalu acuh tak acuh saat bekerja.
Rasa penasaranku semakin besar, aku semakin ingin melihat banyak hal di Pulau ini. Kusempatkan waktuku untuk mengunjungi beberapa museum. Aku juga mencintai sejarah dan budaya, sehingga museum menjadi tempat yang wajib kukunjungi saat berpergian.
Aku melihat bagaimana mereka menghargai sejarah dan budaya dengan melestarikannya dalam sebuah gedung agar dapat di ingat baik oleh masyarakat. Aku melihat bagaimana mereka begitu membanggakan bahasa dan budaya yang mereka miliki. Sungguh setiap apa yang kulihat saat itu memberikanku banyak pelajaran yang sangat berharga yang membuatku semakin dewasa dengan pikiran yang lebih positif.
Tahun 2019 adalah tahun dimana aku benar-benar merasa lebih dewasa, lebih tenang dan lebih positif dalam berucap, berpikir maupun bertindak. Lebih berhati-hati dalam merencanakan sesuatu, lebih menghargai waktu, lebih bersungguh-sungguh mendalami apa yang kusukai dan kugemari.
Aku menjadi diriku yang lebih stabil dengan ego yang mampu kukontrol. Aku sangat bersyukur bisa di beri kesempatan untuk melihat belahan dunia lain dengan berbagai perbedaan. Menemui orang-orang dengan berbagai karakter. Mengunjungi tempat-tempat yang asing. Aku memetik banyak pelajaran yang sangat berharga dari pengalaman yang kulewati.
Aku teringat pepatah yang ku kutip dari sebuah novel yang pernah kubaca “Man Jadda Wajadda, Siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil.
Sungguh, aku suka kalimat itu. Kalimat yang memotivasi dan memberikanku kekuatan serta kepercayaan lebih bahwa tidak ada perjuangan yang sia-sia selama kita yakin, percaya dan bersungguh-sungguh.
Seperti hari ini, hari yang bahkan tidak pernah kumimpikan, tidak pernah sekalipun aku membayangkannya. Aku duduk berdampingan dengan sosok yang asing bagiku, sosok yang belum pernah kutemui sebelumnya, sosok yang hanya kulihat di TV selama di Korea.
Ya…..Dia adalah Bapak Wakil Presiden Korea Selatan. Sosok yang sangat berpengaruh di negri Gingseng. Aku memang memimpikan negri ini. Aku memang penasaran dengan kehidupan dan suasana di Seoul. Aku memang memimpikan musim semi, gugur, dan musim salju disini.
Tapi tak pernah terbesik dalam pikiranku tentang hari ini. Tak pernah kubayangkan akan menjadi salah satu pemimpin dalam acara kenegaraan di Korea Selatan. Tak pernah kubayangkan akan menjadi liputan stasiun TV disini.
Aku melihat semua jajaran masyarakat yang hadir saat itu duduk di kursi dengan model yang sama. Tidak ada perbedaan antara pejabat negara dengan masyarakat biasa yang turut hadir.
Aku tidak melihat ada kursi untuk masyarakat biasa dan VIP ataupun VVIP. Semua sama kulihat. Semua tamu duduk di atas kursi yang sejenis, semua mendapatkan bendera mini yang sama, topi dari kertas, sebuah buku yang berisikan lagu kebangsaan Korea. Aku takjub dengan pemandangan ini.
Aku mengenakan jas hitam dengan baju yang cukup tebal untuk mengurangi rasa dingin di musim gugur. Aku menghela napas, berjalan melewati sekelompok sekuriti dan panitia acara. Mereka mengenalku, mereka memberikanku pelayanan yang baik.
Mereka menyapaku dengan senyum yang ramah dan sopan. Mereka memperlakukanku sebagai tamu yang istimewa tanpa memandang postur tubuhku yang mungil, Tanpa memandang warna kulitku. Aku merasa lebih percaya diri untuk naik ke panggung memimpin Hari peringatan aksara Korea ini.
Ya….aku takjub dengan negri ini yang sangat menghargai dan menjunjung tinggi aksara yang diciptakan oleh Raja Sejong itu. Aksara yang merupakan bagian dari sejarah Korea yang sangat dibanggakan dan dihargai. Aku teringat negriku dan kotaku yang kaya akan bahasa dan budaya, tapi semakin terkikis oleh zaman. (***)
Penulis bekerja di Korea sebagai penerjemah.