Oleh: Ir. La Ode Budi
Balaikota DKI tahun 2012. Rakyat berjejer menunggu datangnya Gubernur. Mereka sudah disana kadang satu jam sebelum Gubernur Jokowi datang, jam 8 pagi. Bahkan ada yang dari jam 6 pagi.
Mereka datang untuk mengadukan berbagai urusan terkait pelayanan ASN yang “macet” atau ada masalah yang tidak tahu bisa minta tolong kepada siapa lagi.
Silahkan buka youtube. Ketik : Gubernur Jokowi terima aduan rakyat.
Kenapa mereka berani datang ?
Karena sebagian dari mereka adalah telah berjuang dalam pemenangan Jokowi – Basuki, sehingga rasa takut agak kurang untuk sampaikan aduan. Walaupun tentu saja, setelah pilgub selesai, semua warga adalah sama, semua diterima, tidak pernah ada pertanyaan: “dulu dukung siapa?”.
Saat kampanye, dalam berbagai kesempatan tatap muka, satu permintaan dari rakyat disampaikan kepada Jokowi, yaitu : jika terpilih, ada kemudahan atau akses mengadu atau bertemu Gubernur.
Dan itu bersambut dengan keinginan Jokowi jika terpilih agar dikawal,sehingga berhasil membangun Jakarta. Sebelumnya, Jokowi selalu membagikan nomor HP untuk dikontak.
Aduan pagi ini, bagi Gubernur sangat berguna dalam pengawasan kinerja ASN. ASN terdorong untuk kerja sungguh-sungguh. Kerja sembarangan, malah akan terancam dimutasi, karena rakyat dapat langsung datang ke kantor Gubernur. “Pak, surat yang saya perlukan, sudah seminggu tidak jadi. Pak Camat tidak masuk-masuk!,” misalnya. Apalagi ada pungli, ASN sangat kuatir kalau dikatakan : “Saya lapor Gubernur ya?”.
Dampak adanya aduan pagi di Balaikota ini adalah terbangunnyabudaya pelayanan pada birokrasi Jakarta. “Selamat siang, ada yang bisa dibantu ?”, biasa kita sudah dicegat di pintu masuk Kelurahan. Sambutan langka pada periode sebelumnya.
Selanjutnya pengaduan pagi ini, dibuat sistim, yaitu QLUE. Tidak perlu datang ke Balaikota,rakyat dapat mengadukan aneka masalah melalui aplikasi. Aduan yang masuk, terhubung dengan komputer Gubernur. Sehingga diketahui aduan mana yang ditindaklanjuti mana yang tidak oleh ASN. Dan muncul tanda merah, jika ada aduan yang dibiarkan.
Permintaan kedua yang biasa mengemuka dalam tatap muka kampanye, adalah transparansi program Pemerintah. Pengalaman, hanya orang dekat pejabat yang dapat bantuan. “Program Pemda harus menyelesaikan masalah-masalah untuk semua warga Jakarta”, simpulan kalimat dari tokoh masyarakyat.
Janji kedua ini juga ditepati. Rapat-rapat Pemda banyak yang ditayangkan di Youtube, sehingga rakyat bisa mengikuti apa prioritas dan program Pemda.
Rakyat untung banyak.
Kesimpulannya, pada Pilkada 2020 di Kepton/Sultra nanti (dimundur), rakyat Kepton/Sultra harus tinggalkan sikap apatis. Apatis artinya tidak terlalu peduli membahas kapasitas para calon dari sudut kepentingan daerah.
Hindari membebani kandidat dengan permintaan-permintaan, aji mumpung sang kandidat sedang perlu suara kita. Bukanlah karena sudah bantu mesjid di daerah kita, dia anaknya si anu tokoh disini, dia keluarga kita, dan lain-lain, kita memilih atau mencoblos pemimpin.
Kita coblos, pada pokoknya karena percaya pada moral dan kompetensinya.
Tukarlah dukungan kita dengan akses sampaikan aduan dan program pemerintah akan dikelola secara transparan.
Apa akibatnya kalau uang kita jadikan sebagai tukaran dukungan ?
Dua hal inilah pertama yang hilang setelah Beliau dilantik. Sulit ditemui, dan program sepertinya hanya tertuju untuk tim sukses. Sungguh kerugian yang besar.
Kabarakatina Tana Wolio. (*)