PASARWAJO, Rubriksultra.com- Liwutampodo, begitu sebutan Pulau Pendek pada zaman Kesultanan Buton dahulu. Pulau eksotis ini terletak di wilayah administratif Desa Boneatiro, Kecamatan Kapontori, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara.
Laporan : Asmadin
Pulau Pendek memiliki luas kurang lebih 220 hektar. Dulunya, pulau ini adalah bekas perkampungan yang dihuni cukup banyak penduduk.
Beberapa peninggalan yang menjadi bukti pulau ini dihuni banyak penduduk pada masanya adalah masih ditemukannya reruntuhan masjid tua. Reruntuhan ini tepat berada di utara pulau.
Sejumlah makam tua juga ditemukan tidak jauh dari bibir pantai. Hanya sekitar 200 meter dengan berjalan kaki dari tengah pulau.
Kini Pulau Pendek hanya dihuni sepasang suami istri yang sudah cukup berumur. La Hasa (70) dan istrinya.
La Hasa merupakan kakek yang bermukim di Pulau Pendek sejak 2014 silam. Kesehariannya berkebun singkong untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Acap kali La Hasa turun melaut. Tidak banyak yang didapat, hanya untuk teman makan singkong rebus sebagai tambahan lauk.
Anak-anaknya semua merantau keluar daerah.
Kepada awak Rubriksultra.com, La Hasa mengulas sedikit sejarah singkat Liwutampodo atau kini dikenal dengan sebutan Pulau Pendek.
Kata La Hasa, dahulu Liwutampodo merupakan bekas kampung leluhur asli masyarakat Desa Boneatiro, Desa Barangka dan Desa Wakalambe, Kabupaten Buton.
Termasuk Kelurahan Lombe dan Dusun Uncume, Kelurahan Gu, Kabupaten Buton Tengah. Bahkan sebagian masyarakat Pulau Makassar, Kota Baubau juga bermukim disini.
Namun karena program pemerintah, semua penduduk akhirnya bermigrasi. Kala itu tahun 1971.
Semenjak itulah, Pulau Pendek ini mulai kosong, akan tetapi makam leluhur yang ada di pulau selalu dilestarikan.
Barulah 43 tahun kemudian, La Hasa memutuskan kembali bermukim di pulau ini.
“Asal nenek moyang kami dari pulau ini. Hanya saja semua bermigrasi sejak tahun 1971 karena program pemerintah untuk dipindahkan,” kenang La Hasa.
La Hasa bercerita, makam tua yang ada di pulau tersebut merupakan leluhurnya bernama La Maindi. La Maindi dimakamkan bersama istri-istrinya serta anak sulungnya.
Dahulu, kata La Hasa, leluhurnya La Maindi itu diberi gelar Mabaria oleh Sultan Buton.
Tidak spesifik La Hasa menyebutkan makna yang terkandung dari gelar Mabaria itu, namun La Hasa memastikan adanya makam tua leluhurnya ini merupakan bukti kuat kalau pulau itu sebenarnya tanah adat.
“Karena pulau ini dahulu asal usulnya adalah kediaman leluhur kami,” kata La Hasa.
La Hasa menuturkan, semasa hidup kakek buyutnya ahli menggunakan Kapulu (Sebutan parang untuk warga Buton). Nisan makam leluhurnya itu dibuat dan diukir sendiri dengan model menyerupai tubuh manusia, memiliki kepala berpeci, lengan dan badan.
Menurut kepercayaan garis keturunan La Maindi, ketika berziarah mesti membawa sebatang rokok, dibakar lalu disematkan di batu nisannya.
“Dan terpenting itu menjaga tata krama dan sopan santun,” katanya.
Kepala Desa Boneatiro, Ilyas mengatakan, sebutan Pulau Pendek untuk Liwutampodo baru ada setelah pemekaran. Kala itu Pulau Pendek disebut masuk dalam wilayah administratif Desa Boneatiro. (adm)