RUMBIA, Rubriksultra.com- Keresahan warga di pesisir Dusun Bambanipa Laut, Desa Baliara, Kecamatan Kabaena Barat, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara (Sultra) akan dampak aktifitas perusahaan tambang semakin menjadi. Kehidupan mereka yang tergantung dari hasil laut kini terancam akibat polusi, laut yang dulu jernih kini berubah warna bak kubangan lumpur.
Laporan : Agus Saputra
Handphone di tangan saya tiba-tiba berdering. Ada pesan masuk, kucek, ternyata sebuah pesan mesenger dari akun Facebook Ahmad Saleh.
Begini bunyinya, “Saya sangat resah dan prihatin terhadap air laut di pesisir Desa Baliara, Dusun Bambanipa Laut yang bisa dikatakan air laut sudah berubah menjadi lumpur saudara,” keluh Ahmad Saleh.
Pesan ini sontak membuat saya tertegun sejenak. Benarkah air laut yang dulu jernih di pesisir desa itu kini telah berubah?.
Saya pun menyempatkan diri untuk bertolak ke Pulau Kabaena. Tentu dengan menggunakan kapal sebagai alat transportasi karena jalur laut merupakan akses satu-satunya untuk mencapai pulau tersebut.
Perjalanan dari Ibukota Kabupaten Bombana, Kasipute menuju pulau yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA) itu memakan waktu 3 hingga 4 jam lamanya menggunakan kapal Fery menuju Pelabuhan Pising. Sekali trip atau perjalanan ke pulau itu anda harus merogoh kocek Rp 49 ribu untuk sekali pembelian tiket kapal laut.
Luas wilayah Pulau Kabaena adalah 873 kilometer persegi. Luas tersebut belum termasuk dengan 13 pulau-pulau kecil disekitarnya.
Pulau ini memiliki penduduk sekitar 31 ribu jiwa. Secara agraris, selain memiliki tanah yang subur, tanah di pulau tersebut juga kaya akan mineral yang terkandung didalamnya, salah satunya nikel.
Sesampainya di Kabaena Barat, saya lantas bergegas ke kediaman Ahmad Saleh yang berada di Dusun 2 Bambanipa laut, Desa Baliara, Kecamatan Kabaena Barat. Rumah Ahmad tepat berada di pesisir laut dengan gaya rumah panggung khas suku Bajo pada umumnya.
Memang hampir seluruh warga yang mendiami pemukiman tersebut berprofesi sebagai petani rumput laut, rumpon bahkan sebagian besar berprofesi sebagai penangkap ikan tradisional atau nelayan termasuk Ahmad sendiri. Ada sektiar 300 Kepala Keluarga (KK) yang mendiami wilayah tersebut.
Benar saja, air laut di dusun itu kini benar-benar berubah, merah karena tanah. Bahkan tebalnya kurang lebih 20 cm hingga dasar laut tak lagi nampak seperti dulu-dulu.
“Saya sebagai warga Desa Baliara, Dusun Bamba Nipa Laut, yang profesi kesehariannya adalah nelayan sangat prihatin tentang masalah ini saudara, kami tak tahu harus berbuat apa,” tutur Ahmad Saleh dengan mata yang berkaca-kaca, sembari menunjuk lumpur tebal di bawah kolong rumahnya, Sabtu 26 Desember 2020.
Ahmad berkisah, tercemarnya lingkungan mereka sudah lama dirasakan warga. Semenjak beroperasinya dua perusahaan tambang di wilayahnya tersebut yakni PT Timah Investasi Mineral dan PT Trias Jaya Agung.
Selain mengganggu mata pencaharian mereka yang hampir seluruhnya adalah nelayan, kini mereka juga harus berjibaku dengan penyakit seperti gatal-gatal.
“Dengan keruhnya air laut sangat berpengaruh dengan tangkapan nelayan, ada juga sih, tapi sangat berbeda dengan hasil tangkapan ikan yang dulu. Bahkan, dulu ada lima karamba ikan milik nelayan di wilayah ini, juga petani rumput laut, sekarang sudah tidak ada lagi,” bebernya.
Kondisi ini ternyata juga menggores pilu hati ibu Nurtang (28). Ibu Nurtang harus merelakan kepergian anak perempuannya, Nayla, menghadap Ilahi karena tenggelam dan sempat hilang di air laut keruh itu.
Saat saya diantar Ahmad Saleh di kediamannya, ibu dari 5 orang anak tersebut masih tampak syok. Nurtang bercerita, insiden memilukan itu terjadi sangat cepat.
“Kalau dia masih hidup, mungkin sudah sekolah mi di SD,” kenang Nurtang.
Nurtang menuturkan, kejadian naas tersebut terjadi 2018 lalu. Kala itu, sang nenek yang menjaga Nayla yang sementara buang air besar tiba-tiba dibuat panik. Nayla hilang dari pandangannya.
Sontak sang nenek dan warga mencari balita tersebut. Karena kondisi air laut keruh, mereka tak bisa menemukan keberadaannya. Tak berselang lama, anak tersebut ditemukan sudah tak bernyawa dengan posisi mengapung sedikit jauh dari kediamannya.
“Kan kita duduk di jembatan, saya jagai, Kan mau buang air, tiba-tiba dia jatuh, saya tidak lihat, kita keliling cari, lama baru didapat, karena tidak bisa dilihat badannya karena air laut keruh, ditemukan sudah meninggal, yang temukan tetangga disangkanya boneka,”bebernya.
Hingga kini, trauma mendalam ibu lima anak ini belum juga hilang. Ia kerap mengingat buah hatinya. Bahkan, sesekali ia menggambil dan memandangi foto anaknya yang ia simpan dan dibingkai rapi olehnya. Bahkan, setiap ia mengingat kejadian tersebut, terkadang ia teriak histeris akibat trauma psikis yang dialaminya.
“Saya masih selalu ingat anakku ini, saya masih simpan fotonya, saya berharap bisa dapat anak cewek lagi seperti dia,”tuturnya sembari memegang erat foto anaknya.
Menurut informasi yang diterima, awalnya, PT Timah Iinvestasi Mineral (TIM) masih bernama PT Timah Eksplomin dimana masih berkantor di Kelurahan Rahampuu Kecamatan Kabaena sekitar tahun 2008 lalu. Seiring berjalannya waktu, perusahaan tersebut pindah kantor dari Kelurahan Rahampuu ke Desa Baliara Selatan dan berubah nama menjadi PT TIM dimana 99,9 persen sahamnya dimiliki PT. Timah tbk.
PT TIM terdaftar dengan Nomor Izin Usaha Pertambangan (IUP) 69/DPM-PTSP/IX/2008 tanggal izin sejak 27 Oktober 2014 hingga berakhir 27 Oktober 2019 lalu. Perusahaan plat merah tersebut menguasai kurang lebih 300 hektar lahan yang beroperasi di wilayah Kabaena dengan status produksi tambang nikel.
Dalam aktifitasnya di Kabaena Barat, pihaknya sempat mengolah nikel dilahan milik PT Titan. Sejak sekitar tahun 2015 hingga saat ini, PT TIM mendapat banyak kecaman dari warga setempat, LSM, mahasiswa, bahkan Organisasi Kepemudaan seperti KNPI. Penolakan tersebut bukan tanpa alasan, namun alasan utama karena tercemarnya dan rusaknya lingkungan di wilayah pesisir.
Sundusing (35), yang juga salah satu warga pesisir Bambanipa laut mengatakan, ia begitu kritis kala itu, sebelum jauh perusahaan mengeksplorasi wilayah tersebut. Bahkan dirinya pernah menggerakan massa menuntut perusahaan untuk hentikan aktifitasnya.
“Kita pernah turun aksi dulu, waktu sekitar tahun 2008 -2009 lalu, karena itu yang dikhawatirkan dampak lingkungan yang ditimbulkan,”bebernya.
Selain itu, persolan pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh PT TIM juga telah disoal, bahkan 2019 lalu, KNPI Bombana sempat melayangkan somasi kepada perusahaan tersebut dengan tuntutan ganti rugi serta mempertanggung jawabkan secara hukum terkait pencemaran lingkungan yang dilakukannya.
“Tahun 2019 kita pernah somasi perusahaan itu, kita meminta agar perusahaan bertanggung jawab atas pencemaran dari aktifitas mereka selama ini,” kata Agus Tamin Saleko yang kala itu masih menjabat Sekretarus Umum KNPI Bombana.
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Bombana saat melakukan monitoring dan evaluasi terpadu 2020 lalu juga mendapatkan beberapa fakta pelanggaran dilapangan. Pelanggaran itu antara lain pihak perusahaan tidak membuat settling pond pada blok bravo penambangan bukaan baru. Olehnya itu DLH Kabupaten Bombana rekomendasikan perusahaan untuk segera membuat settling pond dan drainase untuk pembuangan limbah.
Selain itu, meskipun perusahaan tersebut telah memiliki Izin Pembuangan Air Limbah dengan nomor: 503.16/001/IPL/05/2018 Tanggal 31 Mei 2018. Namun, direkomendasikan pula agar perusahaan tersebut melakukan pengurusan ulang atas perubahan Izin Pembuangan Air Limbah.
Saat media ini mencoba mengkonfirmasi langsung ke pihak perusahaan di kantor PT TIM terkait kebenaran adanya kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktifitas perusahaan tersebut, pihak perusahaan memilih enggan berkomentar.
“Maaf pak terkait itu saya belum bisa berkomentar, saya sudah berusaha menghubungi pimpinan saya lewat telepon untuk meminta ijin namun belum bisa terhubung,” singkat Tatang. W selaku Kepala Tehnik Tambang (KTT) PT TIM, saat ditemui di kantornya, Selasa 29 Desember 2020 sekira pukul 09:30 Wita. (adm)