Sampolawa dan Megalitik Tertua di Buton Selatan yang Belum Terungkap

La Ode Raden

Oleh: La Ode Raden, S.Pd

Secara administratif, Sampolawa merupakan satu daerah yang pernah tergabung dalam wilayah Kecamatan Sampowajo dengan pusat pemerintahannya di Pasarwajo. Namun, dalam perkembangannya, Sampolawa memisahkan diri menjadi sebuah kecamatan baru yang disebut dengan nama Kecamatan Sampolawa.

- Advertisement -

Saat ini, Kecamatan Sampolawa berada dalam wilayah administratif Kabupaten Buton Selatan. Secara geografis, Kecamatan Sampolawa terletak di bagian selatan Pulau Buton tepatnya di pesisir pantai teluk Sampolawa.

Menurut informasi dari tokoh adat dan tokoh masyarakat setempat, bahwa Sampolawa pada awalnya hanya sebuah perkampungan kecil yang dihuni oleh sekelompok masyarakat (Masyarakat asli) Sampolawa yang mendiami sebuah wilayah atau tempat yang disebut dengan nama Kampung Sampolawa atau Kampung Sampolawa lama yang sampai saat ini masih ditemukan jejak-jejak pemukiman penduduk di masa lalu dengan berbagai macam peninggalannya.

Kampung Sampolawa lama merupakan suatu perkampungan yang jauh dari pesisir pantai yang terletak pada perbukitan dengan ketinggian sekitar 200-300 meter dari atas permukaan laut.

Di area perbukitan pemukiman penduduk (Kampung Sampolawa lama) inilah terdapat jejak-jejak sejarah atau beberapa peninggalan masa lalu berupa batu tunggal yang berukuran besar menyerupai seekor kerbau yang oleh masyarakat setempat menyebutnya “Karambau” dengan posisi tengkurap.

Peninggalan tersebut merupakan bukti yang sulit terbantahkan, bahwa sejak dahulu kala telah ada sekelompok masyarakat yang menghuni wilayah kampung Sampolawa lama yang diperkirakan hidup sejak zaman Megalitikum, yaitu sekitar tahun 1.200 SM. Pernyataan ini diperkuat dengan adanya informasi yang diperoleh dari masyarakat setempat secara turun temurun bahwa kampung Sampolawa lama pernah dihuni oleh sekelompok masyarakat (Penduduk asli).

Diceritakan oleh masyarakat setempat bahwa sekitar delapan puluh tahun yang lalu, batu yang menyerupai kerbau (Arca) ini masih terlihat dalam posisi tegak dengan menggunakan empat kaki sebagaimana layaknya seekor kerbau. Namun karena ulah manusia sehingga kakinya patah dan hancur yang mengakibatkan kondisi Arca tersebut dalam posisi tengkurap di atas tanah sehingga lambat laun sebagian tubuhnya tertutup oleh tanah.

Baca Juga :  Buton Bisa Selamatkan Demokrasi Indonesia (Bagian 2)

Berdasarkan informasi yang dihimpun dari masyarakat setempat, dikisahkan bahwa di samping batu besar yang menyerupai kerbau itu masih ada juga peninggalan-peninggalan batu besar lainnya yang berbentuk harimau. Namun sekarang tidak terlihat lagi, ini diduga telah tertimbun oleh tanah.

Arca berbentuk kerbau yang ditemukan di wilayah Kecamatan Sampolawa. (Foto Istimewa)

Hal ini bisa terjadi karena disamping usianya sudah terlalu lama, tempat ini juga kurang terpelihara. Ini terlihat pada situs atau kondisi lingkungan sekitarnya yang tidak terawat.

Dari hasil pengamatan awal, dapat diduga bahwa di kawasan ini masih banyak benda-benda peninggalan lainnya yang tidak terlihat lagi karena sudah tertimbun oleh tanah. Dengan adanya peninggalan tersebut, menunjukkan bahwa tingkat kebudayaan dan peradaban masyarakat di tempat ini telah maju.

Peninggalan batu besar seperti ini banyak ditemukan di beberapa daerah di Indonesia seperti di daerah Poso Sulawesi Tengah yang saat ini telah dijadikan sebagai cagar budaya situs Megalitikum tertua di Asia Tenggara.

Dengan rentang waktu yang begitu lama, Arca ini diduga mengalami proses degradasi pada bahan penyusunannya sehingga menyebabkan terjadinya retak serta pecah. Kondisi seperti ini dapat terjadi karena adanya serangan mikroorganisme seperti serangan alga, lumut maupun jamur yang dapat mengakibatkan terjadinya proses pelapukan dan jika dibiarkan terus menerus menempel di permukaan batu maka akan mengancam kondisi pelestariannya.

Seiring dengan berkembangnya peradaban dan kepercayaan Animisme (Pemujaan terhadap roh atau jiwa) yang merupakan paham kepercayaan yang meyakini bahwa jiwa atau roh nenek moyang yang telah meninggal terdapat pada benda-benda tertentu dan kepercayaan Dinamisme (Pemujaan terhadap benda) yang meyakini bahwa tiap-tiap benda mempunyai kekuatan gaib, maka batu besar seperti ini dapat difungsikan sebagai tempat persembahan roh leluhur yang telah meninggal, sebagaimana halnya juga di daerah lain di nusantara seperti Sumatra, Sulawesi Tengah dan Kalimantan.

Baca Juga :  Empat Prinsip Ditegakkan, Mendahului Sara Pataanguna

Di daerah-daerah ini ditemukan batu besar yang dijadikan sebagai tempat persembahan seperti Dolmen atau Meja batu yang digunakan sebagai tempat untuk meletakkan sesaji yang dipersembahkan kepada roh nenek moyang mereka. Disamping batu besar seperti tersebut di atas, yang lebih menarik lagi di tempat ini adalah banyak ditemukan kuburan tua dan sebuah gua yang jaraknya kurang lebih 200 meter ke arah timur.

Gua tersebut oleh masyarakat setempat menyebutnya (Lia Mbuta) yang terdiri dari beberapa pintu masuk, gua samacam ini biasanya difungsikan sebagai tempat hunian masyarakat dalam istilah sejarah disebut dengan Abris Sous Roche.

Lokasi ini perlu membutuhkan kajian dan pengungkapan yang lebih dalam lagi untuk dapat menemukan sumber-sumber atau petunjuk yang lebih banyak lagi sehingga ke depannya dapat dijadikan sebagi cagar budaya Megalitikum yang akan menjadi kebanggaan masyarakat Sampolawa khususnya dan masyarakat Kabupaten Buton Selatan pada umumnya. (***)

Penulis adalah seorang guru di SMA Negeri 1 Sampolawa.

Facebook Comments