Membangun Merek “Buton/Kepton” : Negeri Khalifatul Khamis, atau Benteng Terbesar di Dunia?

Ir La Ode Budi

Oleh: Ir La Ode Budi

JAKARTA, Rubriksultra.com- Ada mobil dibuat dengan spek yang persis sama. Satu ditempeli logo Astra, satu lagi ditempeli logo Daihatsu. Tapi misal harganya berbeda, satu Rp110 juta (Astra), satu lagi Rp100 juta (Daihatsu). Mana mobil yang Anda beli ?

- Advertisement -

Ada dua botol air mineral. Keduanya berasal dari mata air yang sama, dan diproses dengan proses yang sama, bahkan uji labnya hasilnya sama. Satu dilabeli, Aqua satu lagi dilabeli Aquarius. Mana yang akan Anda akan beli, kalau harganya sama?

Itulah gambaran kekuatan MEREK (BRAND).

Karena itu, saat ini merek tidak dibiarkan begitu saja. Merek harus dibangun. Ada ilmunya.

“Kalau Anda tidak memberi tahu konsumen atau calon konsumen Anda, maka merek Anda akan dianggap sama dengan merek lain (biasa, tidak istimewa),” demikian patokan yang Penulis pegang.

Begitu juga, Buton atau Kepton, kalau kita tidak pernah memberitahukan ke publik Indonesia, secara sengaja, saintifik, maka akan dikenal, tapi dianggap biasa saja.

Sama dengan daerah lain.

Jadi memang perlu upaya membangun merek ini.

Yang Penulis ketahui, membangun merek ada empat tahap, yaitu : Merek dikenal luas (Brand Awareness), Merek itu terasosiasi dengan apa (Brand Association), Terbangunnya presepsi kualitas atas merek itu (Perceived quality) dan Loyalitas atas merek itu/tidak mau ke merek lain (Brand loyalti).

Kita bahas dulu dua tahap awal, yaitu “Brand Awareness” dan “Brand Association”.

Terkait Kepton atau Buton, apakah sudah dikenal di Indonesia.

Tingkat keterkenalan ini bisa diukur, melalui survey merek. Kalau belum atau prosentasenya kurang dari 80%, maka perlu upaya kita sengaja mengenalkan.

Tapi dikenal nama saja tidak cukup.

Harus disertai dengan asosiasi terhadap merek Buton/Kepton (brand association) tersebut. Pilihannya, misalkan : khalifatul khamis, benteng tersebesar di dunia, aspal atau lainnya.

Baca Juga :  Model Pembelajaran Blended Learning Solusi Belajar Daring di Era Pandemi

Tentu ada “cakupan” audiens yang bisa dijangkau dari masing-masing pilihan (asosiasi) ini.

“Khalifatul khamis”, kita akan menonjolkan sisi “software” (undang-undang/hukum, prinsip-prinsip, nilai-nilai, kebijaksanaan) dari pengelolaan kesultanan Buton.

Kata “khalifatul khamish” akan menjangkau rasa ingin tahu seluruh umat muslim dunia, tanpa kecuali.

Dan tentu saja non-muslim yang ingin tahu “wujud lain” dari peradaban Islam.

“Benteng terbesar di dunia”, akan menjangkau rasa ingin tahu atas aspek rancangan/disain, teknologinya, dan perhitingan daya tangkalnya atas serangan musuh.

Sejarah benteng akan “membuka kesadaran” terhadap urgensi membangun benteng ini, pembiayaannya dan kisah pengerjaan Benteng tersebut.

Dari contoh dua asosiasi merek di atas, mana yang lebih luas jangkauannya (orang merasa ada kepentingan), atau dipikir memiliki “keunggulan” yang lebih tinggi dilihat dari sudut peradaban manusia.

Ini adalah pilihan, dalam membangun merek KEPTON/BUTON.

Merancang “kedalaman rincian informasi” sangat menentukan, apakah merek kita tertancap di pikiran atau kesadaran (sasaran komunikasi).

Membangun merek “Buton, Kepton” kepada Presiden, Wapres dan jajaran kementriannya, sangat penting untuk mengawal pemekaran Kepton, dan tentu saja masyarakat Indonesia untuk mendapat dukungan publik (opini publik).

“Pantaslah mereka harus mekar,” itulah komentar yang kita harapkan dari publik.

Tentu kita tidak cukup membangun merek Buton/Kepton “keluar”, sangat penting juga “ke dalam”, artinya masyarakat Kepton sendiri memahami identitas dirinya.

Tulisan ini adalah curah gagasan. Sekiranya berguna untuk bahan koja-koja atau kajian para pihak yang tertarik. Kabarakatina Tana Wolio. (***)

Facebook Comments