BAUBAU, Rubriksultra.com- Ketimpangan berbahasa dalam bermasyarakat tak pelak menimbulkan gesekan, baik antar pribadi maupun dalam tatanan sosial. Olehnya, diperlukan sikap berbahasa yang baik, benar serta santun, apalagi sikap berbahasa ini akan menentukan kualitas diri seseorang.
Hal itu disampaikan Sekda Baubau, Dr Roni Muhtar, saat membuka sosialisasi pelayanan profesional bahasa dan hukum yang diinisiasi Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara, di Hotel Zenith Baubau, Kamis 3 Juni 2021.
Kata Dr Roni Muhtar, jangan ada lagi ketimpangan bahasa yang bisa membuat keakraban menjadi renggang dan tidak bisa membangun hubungan baik antar sesama.
“Banyak penggunaan bahasa yang menjadikan komunikasi kita menjadi masalah, nah, sebisanya jangan ada lagi. Kita perlu berpikir dengan cara komunikasi kita, kalau ada sarana yang lebih baik yang tidak menimbulkan gesekan, kenapa kita tidak pilih itu, jangan pilih yang lebih banyak mudaratnya daripada kebaikannya,” katanya.
Jenderal ASN Baubau inipun mengajak masyarakat agar menjadi pengguna bahasa yang cerdas sekaligus santun. Baik bertutur kata dalam lisan maupun dalam bermedia sosial.
“Jangan kita bicara orang baik, tetapi ekspresi berbahasa kita tidak menunjukkan bila kita orang baik. Tidak ada satupun orang yang ingin disebut tentang kekurangannya, tapi tidak ada satupun orang yang tidak menyukai kalau disebut soal kebaikannya,” katanya.
“Jangan ada lagi ketimpangan komunikasi yang bisa membuat kita tidak akrab, menjadi tidak bisa membangun hubungan baik. Jadi pilihan cara, saluran, dan ragam berbahasa itu menjadi sarana kita untuk bisa membangun keakraban, kohesi sosial, dan terpenting terhindar dari jerat hukum,” tandasnya.
Kepala Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara, Dr Herawati menambahkan, ketimpangan berbahasa yang sengaja dibenturkan tidak hanya berakibat pada rusaknya sendi-sendi bahasa tetapi hancurnya nilai persaudaraan dan nilai sosial.
“Ini merupakan kenyataan yang dijumpai dewasa ini dengan begitu maraknya kasus ujaran kebencian atau kesalahpahaman yang umumnya berasal dari media jejaring sosial. Ada pepatah mengatakan, mulutmu marimaumu, artinya kata-katamu adalah kualitas dirimu,” katanya.
Kata dia, sikap bahasa terkait dengan tiga hal. Pertama kesetiaan kepada bahasa terutama bahasa Indonesia, kedua harus bangga dengan bahasa Indonesia, dan ketiga kesadaran akan adanya norma-norma kebahasaan.
“Kalau kita hanya sekadar bangga, setia dan cinta dengan bahasa Indonesia tetapi tidak ada upaya untuk mengetahui norma-norma kebahasaan maka niscaya akan tumbuh didalam diri kecintaan dan kebanggaan itu,” katanya.
Dr Herawati menambahkan, ketimpangan berbahasa bisa menimbulkan jerat hukum bagi seseorang utamanya berkaitan dengan UU ITE. Tiga tahun terakhir, permohonan akan ahli bahasa untuk menilai kasus dari kepolisian mengalami peningkatan.
Pada 2018, kasus yang berkaitan dengan UU ITE itu mencapai 17 kasus, pada 2019 naik jadi 29, dan 2020 naik lagi menjadi 33 kasus. Sementara pada 2021 ini sudah 10 kasus.
“Olehnya itu, marilah kita menjadi pengguna bahasa yang cerdas yang mampu menggunakan bahasa yang baik dan benar sehingga tidak menimbulkan permasalahan utamanya berkaitan dengan UU ITE” pesannya. (adm)