Nyawa, Penjara, atau Jadi Bagian Mafia

H. Nur Alam

Sebuah Refleksi
Oleh: H. Nur Alam, S.E., M. Si.
Gubernur Sulawesi Tenggara 2008-2013 dan 2013-2018

Sulawesi Tenggara adalah provinsi yang kaya akan sumber daya alam, baik di sektor pertanian, perikanan, peternakan, pariwisata, dan juga budaya. Di sektor tambang berlimpah nikel, emas, aspal, dan hasil tambang lainnya.

- Advertisement -

Kekayaan alam strategis di bidang pertambangan khususnya nikel (ore) nilai depositnya sekitar 97,4 miliar ton (asumsi harga $25/ton) bernilai sekitar Rp. 23,1 ribu triliun. Aspal curah di Pulau Buton memiliki deposit sekitar 3,8 miliar ton (asumsi harga Rp. 480.000/ton) nilainya sekitar Rp. 1,841 triliun. Sedangkan tambang emas yang dimiliki oleh Sultra diperkirakan depositnya mencapai sekitar 1,125 juta ton (asumsi harga Rp. 270.000/gram) bernilai Rp. 303,75 ribu triliun.

Semua kekayaan alam melimpah yang dimiliki Sultra itu akan membawa kesejahteraan di masa depan, dan juga membuat Sultra menjadi daerah yang lebih maju dibanding daerah lain. Sultra juga akan dapat berperan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Bahkan, Sultra bisa sangat terkenal di dunia internasional.

Di satu sisi semua potensi alam yang berlimpah itu adalah anugerah dari Allah SWT, namun di sisi lain bisa berubah menjadi musibah bila keberadaan dan keberlangsungannya tidak dijaga dan dikelola dengan baik dan benar.

Presiden Soekarno pernah mengatakan, “Kelak negara di dunia akan iri terhadap kekayaan Indonesia.” Barangkali itulah yang terjadi sekarang ini. Kekayaan alam yang berlimpah yang dimiliki negeri ini justru menjadi ancaman serius karena banyak sekali pihak (asing) yang berebut untuk menguasainya.

Sasaran Mafia

Biasanya, kita melihat tema-tema tentang kelompok kejahatan terorganisir seperti mafia hanya di film-film Hollywood. Meski biasanya lebih banyak memotret tentang mafia di Italiasebutlah film berjudul “God Father”, namun sebenarnya kelompok kejahatan terorganisir ini juga terjadi di banyak negara seperti di Meksiko, Kolumbia, Serbia, dan lainnya.

Sebuah penelitian yang dimuat dalam Journal of Public Economics yang disusun oleh Gianmarco Daniele (peneliti pasca doctoral di bidang ekonomi di Universitas Bocconi) bersama ilmuwan ilmiah Universitas Pennsylvania, Gemma Dipoppa menemukan bahwa mafia di Italia seringkali mengancam politisi untuk mendapatkan kontrak pemerintah yang membayar mahal untuk pengelolaan limbah, konstruksi, dan layanan publik lainnya. Politisi individu yang mengancam kepentingan bisnis tersebut dapat berada dalam bahaya. Serangan fisik, pembakaran, dan ancaman adalah taktik favorit mafia.

Baca Juga :  500 TKA Dalam Perspektif Hukum, SDM, Ekonomi dan Covid-19 (Bagian 2)

Menariknya, satu hal yang disajikan dengan tepat oleh film maker Hollywood adalah gagasan bahwa jaringan kriminal Italia cukup kuat mengancam pemerintah, dan risiko tertingginya ada pada pejabat pemerintah lokal.

Sejak saya di Sukamiskin, saya jadi punya banyak waktu untuk merenung. Bahkan sesekali flashback ke masa-masa saat masih menjabat sebagai Gubernur. Tampak jelas ada konsekuensi jabatan yang membuat saya berisiko menjadi sasaran kejahatan mafia seperti yang ada di film-film. Dan saya pun jadi “curiga” jangan-jangan saya adalah korban dari sebuah konspirasi yang dilakukan oleh kelompok kejahatan yang terorganisir serupa film mafia produksi Hollywood.

Kalau politik tampak sebagai pekerjaan yang sangat berbahaya, saya khawatir akan banyak orang-orang yang potensial, kompeten, berkualitas, dan berpendidikan tinggi akan berkecil hati untuk mencalonkan diri menjadi pemimpin daerah.

Risiko Jabatan

Kematian Wakil Bupati Sangihe, Helmud Hontong pada Rabu (9/6/2021) yang menjadi pembicaraan hangat dan diberitakan oleh berbagai media membuat saya terusik dan lagilagi merenung lalu flashback.

Kematiannya yang mendadak di atas pesawat saat perjalanan pulang dari Bali menuju Manado via Makassar membuat masyarakat berspekulasi bahwa kematian laki-laki kelahiran 1962 itu tidak wajar, dan dikaitkan dengan sikapnya yang sangat tegas menolak keberadaan PT. Tambang Mas Sangihe yang beroperasi di Sangihe, Sulawesi Utara.

Polisi masih terus mengusut kematiannya. Namun, wajar atau tidak wajar kematian Wabup Sangihe, saya tahu betul bahwa memang ada bahaya besar yang mengintai di balik jabatan yang diemban oleh seorang pejabat daerah. Maka jangan heran kalau ada istilah yang berkembang di tengah masyarakat bahwa, ketika pejabat daerah berani menolak mafia maka taruhannya adalah nyawa atau penjara. Kecuali dia bersedia jadi bagian dari mafia.

Mari kita tengok lagi kasus yang masih menjadi pembicaraan hangat di kalangan masyarakat Sulawesi Tenggara yakni, ditetapkannya Kepala Dinas ESDM Provinsi Sultra sebagai tersangka dalam kasus perizinan tambang PT. Toshida yang diduga merugikan negara sebesar Rp. 190 miliar.

Ada beberapa catatan yang hendak saya tekankan dari kasus tersebut. Yang utama adalah, penegak hukum kali ini harus benar-benar konsisten dalam melakukan penyelidikan secara menyeluruh. Karena, kasus (pelanggaran) pengusaha tambang di seluruh Indonesia khususnya di Sultra, problem dan karakteristiknya itu sama. Jadi, begitu menyentuh satu perusahaan itu artinya terjadi juga di perusahaan lain, kecuali mereka yang memang taat pada aturan. Bagi yang tidak taat, dan kebanyakan justru yang tidak taat itu, pola dan modus operandinya pasti sama, karakteristik kegiatannya sama, objeknya sama, kerugiannya sama, kerugian lingkungannya sama, sasarannya juga sama (wilayah dan masyarakat). Yang membedakan hanya lokasinya.

Baca Juga :  Jayalah Pemuda, Jayalah Bangsa

Makanya saya minta, aparat hukum jangan tebang pilih. Mulailah dari hulu, yakni dari Kabupaten. Sekarang memang sudah diambil (pejabatnya) dari Provinsi, dan itu sudah bagus. Mengapa Kabupaten? Karena sentral penyelenggaraan administrasi perizinan tambang adalah Kabupaten. Baru pada tahun 2016-2017 ada perubahan Undang-Undang yang isinya adalah, kewenangan mengeluarkan IUP diserahkan ke Provinsi, sebelum akhirnya dialihkan ke Pusat lewat Undang-Undang Omnibus Law.

Dialihkannya kewenangan dari Kabupaten ke Provinsi, dimaksudkan untuk memudahkan dilakukannya evaluasi dan pengawasan. Namun pada praktiknya, para mafia hanya berpindah tangan saja dari Kabupaten ke Provinsi.

Dan sekarang, ketika kewenangan ada di tangan pusat, jangan sampai praktik mafia itu kemudian berpindah ke pusat juga. Semogalah pusat tidak menjadi “bandar baru” dari kerusakan yang selama ini terjadi di daerah. Maka, agar pusat ibaratnya tidak menerima bingkisan yang bentuknya seperti kucing dalam karung (mengeong tapi tidak tahu bagaimana warna dan jenisnya), sebaiknya momentum kali ini menjadi kesempatan yangbaik untuk mulai dilakukan pembenahan secara sistematis dan menyeluruh. Sambil proses hukum yang menjerat Kepala Dinas ESDM Sultra berjalan, sekaligus lakukan juga pengetatan regulasi dengan tetap mengedepankan kemudahan pelayanan dan registrasi ulang.

Sebenarnya mereka pernah diberi kesempatan enam bulan untuk proses transisi (dari Kabupaten ke Provinsi). Namun kesempatan itu tidak digunakan dengan baik dan malah dijadikan kesempatan untuk (lagi-lagi) melakukan penyimpangan. Buktinya, di lapangan banyak terjadi manipulasi dan permainan administrasi.

Saat terjadi peralihan kewenangan dari Kabupaten ke Provinsi, sebenarnya lahan potensial tambang sudah tidak ada lagi. Perbandingan luas lahan terhadap luas potensi sudah sangat jauh (sudah terlalu banyak jumlah perizinan).

Cara-cara yang kerap digunakan oleh para mafia (tambang) memang sangat lihai. Izin-izin yang sudah mati yang sudah tidak ada pemiliknya dicari, dan pengusaha yang tidak memenuhi kewajiban yang izinnya dicabut dihidupkan kembali dan diambil oleh oknum. Selain itu, banyak juga yang melakukan kegiatan penambangan tanpa izin. Mereka menambang begitu saja dan persoalan administrasinya diselesaikan di lapangan.

Baca Juga :  Cermin Evaluasi Saat Ulang Tahun Daerah

Meski ada petugas pengawas tambang (pengawas struktural dan pengawas fungsional), tapi karena proses pendelegasian tugas kewenangan pengawasan dan controlling sudah tidak jelas dalam pelaksanaannya, akhirnya ya masing-masing malah adu kuat. Yang berjalan hanya pengawas-pengawas kelembagaan dari Kamtibmas (Polri dan TNI AL), Bea Cukai, Syahbandar, dan lain-lain. Jadi tidak lagi terintegrasi sebagai pengawas yang bertanggung jawab dalam bidang pengusahaan tambang.

Carut marut dan kekacauan seputar kegiatan dan perizinan pertambangan di Sultra saat ini sudah sangat mengkhawatirkan, dan berdampak luar biasa buruknya pada hampir seluruh komponen masyarakat di sana. Penjarahan tambang semakin menghancurkan perekonomian dan tatanan sosial kemasyarakatan di Bumi Anoa. Di lain pihak upaya pemberantasan kejahatan yang dilakukan selama ini belum menunjukkan hasil yang optimal. Kejahatan (tambang) dalam berbagai lapisan tetap saja terjadi. Jika kondisi ini tetap dibiarkan berlangsung maka cepat atau lambat kita akan bangkrut potensi nikelnya, dan pada akhirnya kita juga akan kehilangan daya saing industri strategis nasional. Situasi gawat itu harus dipandang sebagai kejahatan luar biasa. Oleh karena itu memerlukan upaya yang luar biasa pula untuk memberantasnya.

Dalam hal ini pemerintah harus tegas mengawasi dan memberikan sanksi kepada pelaku pelanggaran usaha pertambangan yang tidak melaksanakan kaidah-kaidah good mining practices dalam operasi penambangannya, karena mereka tak sebatas merugikan rakyat, bahkan negara.

Penegak hukum juga harus serius, tegas, dan tidak tebang pilih hingga perkaranya tuntas. Dan juga perlu adanya peningkatan pengawasan yang dilakukan oleh Tim Terpadu yang terdiri dari Kepolisian, Pemda, Kejaksaan, Kementerian Pertambangan, Kementerian Investasi, dan lain-lain, agar semua kejahatan yang terjadi bisa disudahi.

Saya tak sebatas cemas, tapi juga berdoa agar potensi nikel di Sultra yang kian hari kian terkuras dapat diselamatkan dan didayagunakan, untuk sebesar-besarnya kemakmuran bangsa Indonesia. (***)

Facebook Comments