Ali Mazi: Jangan Tunda Lagi Pengesahan RUU Daerah Kepulauan

Gubernur Sultra yang juga Ketua Badan Kerjasama (BKS) Provinsi Kepulauan, H Ali Mazi memaparkan tentang perjuangan mendorong pengesahan RUU Daerah Kepulauan, dalam High Level Meeting Badan Kerjasama Provinsi Kepulauan, bertempat di Gedung Nusantara Empat Kompleks Parlemen MPR-DPR RI, Jakarta, Rabu 6 Oktober 2021. (Foto Istimewa)

JAKARTA, Rubriksultra.com- Gubernur Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), H.Ali Mazi, yang juga Ketua Badan Kerjasama (BKS) Provinsi Kepulauan mewakili delapan provinsi kepulauan yang ada di Indonesia, pada periode keduanya kali ini, kembali konsen memperjuangkan pengesahan RUU Daerah Kepulauan menjadi UU yang telah digemakan sejak 16 tahun silam. Dukungan penuh juga diberikan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI.

Perjuangan ini diutarakan dalam High Level Meeting Badan Kerjasama Provinsi Kepulauan di Gedung Nusantara Empat Kompleks Parlemen MPR-DPR RI, Jakarta, Rabu 6 Oktober 2021. Dalam kesempatan ini, Ali Mazi meminta agar pengesahan RUU menjadi UU Daerah Kepulauan tidak tertunda lagi pada sidang DPR RI Tahun 2021.

- Advertisement -

“Kami mohon agar tidak tertunda lagi, karena ini tinggal diketok saja. Semua persyaratan, saya kira, telah rampung apalagi sejak 16 tahun lalu dan sudah masuk empat periode, yang masing-masing dua periode di DPR RI tahun 2004-2009, dan dua periode di DPR RI yakni tahun 2009 -2019. Karena UU Nomor 3 tentang Pertambangan saja, kita orang daerah tidak tahu apa-apa, tiba-tiba langsung di ketok, sementara ada hak kepala daerah yang dicabut. Lalu mengapa RUU Daerah Kepulauan ini tertunda-tunda padahal terkait pemerataan pembangunan di wilayah NKRI,” katanya.

Ali Mazi SH menerangkan, UU Daerah Kepulauan tersebut tidak lain berbicara tentang pembagian kue secara merata agar tidak terjadi ketimpangan dan kebuntuan, khususnya 8 provinsi daerah kepulauan yang ada di NKRI dalam membangun Indonesia termasuk wilayah kepulauannya. Hal ini juga telah dicita-citakan Presiden Pertama RI, Ir Soekarno yang ingin mewujudkan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, dengan segala potensi dimiliki untuk mejadi poros maritim dunia.

“UU Daerah Kepulauan ini sangat luar biasa, sehingga jika terjadi penundaan dalam pengesahannya, tentu menjadi hal yang cukup aneh. Olehnya, melalui kesempatan ini, kami meminta kepada para pemangku kebijakan dan seluruh stake holder terkait, bersama bahu-membahu membangun bangsa dan negara NKRI agar tidak terjadi kepincangan. Kami percaya sepenuhnya, bahwa Ibu Ketua DPR RI bersama seluruh anggota yang terhormat, tidak akan menyia-nyiakan harapan kami,” tuturnya.

Dikatakan, High Level Meeting Badan Kerjasama Provinsi Kepulauan ini, tidak lain untuk menguatkan kembali solidaritas percepatan pembahasan dan pengesahan RUU Tentang Daerah Kepulauan menjadi UU. Ia pun mengucapkan terima kasih kepada DPD RI yang telah bekerjasama memfasilitasi kegiatan tersebut.

Jika melakukan flashback, lanjut Ali Mazi, perjuangan untuk pemerataan dan optimalisasi pembangunan daerah kepulauan telah dilakukan sejak 16 tahun silam, saat dirinya masih menjabat Gubernur Sultra pada periode pertama, bersama delapan Provinsi Kepulauan, yang kini telah pensiun karena telah mencapai dua periode kepemimpinan.

Baca Juga :  Konkep Diguncang Gempa, tak Berpotensi Tsunami

“Jika diibaratkan, kami hanya meminta pembagian kue secara merata, kalau tidak merata tentu akan ada anak tiri dan kandung, sedangkan NKRI tentu tidak boleh ada perbedaan dan semua merupakan anak kandung, sehingga dalam pembagian hak tidak ada perbedaan. Apalagi diketahui bersama, kawasan timur merupakan termiskin, bahkan ada kecamatan di Sultra yang belum memiliki listrik, padahal telah diperjuangkan melalui PLN, namun hingga hari ini belum juga terpasang,” ungkapnya.

Dia melanjutkan, di tengah kondisi tersebut terlebih dihadapkan pada pandemi Covid-19, terdapat berbagai persoalan, salah satunya pada bidang pendidikan, dimana menganjurkan anak-anak untuk belajar secara virtual.

“Bisa dibayangkan bagaimana nasib anak-anak ini selama pandemi. Mereka adalah anak-anak kita, pejuang, penerus, dan pengganti kita dimasa depan. Jika mereka tidak mendapatkan pendidikan yang sama sesuai standar nasional, tentu ini sangat memprihatinkan. Inilah salah satu permasalahan nyata dialamai daerah kepulauan, yang wajib kita perjuangkan, agar pembagian kue bisa merata. Daerah Sultra merupakan salah satu daerah kaya, kita memiliki keluatan luar biasa, pertambangan, daratan, pertanian, hingga perkebunan, tetapi sampai hari ini masih miskin dan termiskin,” keluhnya.

Olehnya, ia berharap perjuangan mendorong UU Daerah Kepulauan bisa terwujudkan, dalam rangka memperjungkan hak-hak daerah kepulauan yang memiliki karakteristik daerah tersendiri.

“Bagaimana mungkin bisa, daerah-daerah kepulauan di negara ini jumlah DAU-nya dihitung melalui jumlah wilayah dan penduduk. Tentu tidak akan bisa sama dengan di Pulau Jawa. Salah satu kabupaten di Bogor saja, jumlah penduduknya mencapai 6 juta, sedangkan Sultra se-provinsi hingga hari ini hanya 3 juta jiwa terus, bagaimana cara menghitungnya. Waktu saya jadi Gubernur Sultra periode 2003-2008, jumlah penduduk kurang lebih 3 juta jiwa, kok hari ini menjadi 2 juta 7 ratus jiwa. Apalagi dihitung dari jumlah wilayah, saat air laut surut itu bisa mencapai 3 kilo meter jauhnya, namun saat airnya naik kembali, kepulauan hampir-hampir tidak memiliki daratan lagi. Jadi memang harus ada pertimbangan kepulauan,” paparnya.

Dia mengungkapkan, di Sultra terdapat Suku Bajo yang merupakan warga asli Indonesia, dimana memiliki wilayah tetapi tidak mempunyai hak, diantaranya tidak memiliki hak keperdataan dengan alasan Suku Bajo mendirikan rumah di laut. Sedangkan Sultra menerima transmigrasi dari daerah Jawa, begitu tiba di Sultra langsung diberikan hak keperdataan dua hektare dan segala kebutuhannya, sedangkan masyarakat Suku Bajo yang ada di pesisir pantai Sultra, tidak memiliki hak keperdataan.

“Jadi bagaimana mungkin Suku Bajo ini bisa memperjuangkan hak-haknya seperti orang-orang kita yang ada di daratan. Padahal mereka merupakan garda terdepan dalam menghadapi serangan dari laut dan mengelolah laut dengan baik. Suku Bajo hidup sebagai nelayan tradisional, mereka bisa makan dan hidup tetapi tidak memiliki uang tunai, sehingga sulit memberikan pendidikan kepada anak-anaknya. Ini salah satu hal yang sangat memprihatinkan,” ucapnya sedih.

Baca Juga :  Diskominfo Sultra Resmi Pindah Kantor

Kesedihan Gubernur Sultra tak sampai di situ saja, ia mengungkapkan keprihatinannya melihat kehidupan masyarakat pada salah satu kecamatan di Sultra, tepatnya di Batu Atas yang belum memiliki listrik, air, bahkan pohon pun sulit tumbuh. Untuk memenuhi kebutuhan, masyarakat harus membeli singkong dari Jawa Timur melalui tukar menukar antar nelayan.

“Ini adalah satu permasalahan dari sekian banyaknya yang dialami daerah-daerah kepulauan di Indonesia. Tugas kita sebagai anak-anak bangsa untuk melihat dan meringankan penderitaan mereka,” katanya.

Gubernur Sultra mengenang, melalui deklarasi Ambon Tahun 2005, dirinya dipercayakan menjadi Ketua BKS Provinsi Kepulauan. Deklarasi Ambon juga membahas tentang forum kerjasama antar pemerintahan daerah Provinsi Kepulauan hingga disepakatinya pembentukan Badan Kerjasama Provinsi Kepulauan di Ternate. Dalam perjalanan perjuangan tersebut, telah dilaksanakan berbagai agenda pertemuan untuk menggalang dukungan dari berbagai stake holder, yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat di daerah kepulauan, melalui pembentukan regulasi yang memberikan kewenangan kepada dearah provinsi yang bercirikan kepulauan, untuk mengelolah dan mengatur sumber daya alam maupun sumber daya manusianya.

“Sumber daya manusia tidak maju, kalau membaca saja susah, apalagi masih menggunakan lilin atau lampu strongking, sementara Sultra cukup kaya akan SDA. Setelah melalui berbagai iktiar dilakukan, alhamdulillah puji sukur kepada Allah SWT, hasil dari berbagai upaya terbut adalah lahirnya RUU Tentang Daerah Kepulauan, yang berisikan kewenangan daerah provinsi dan kabupaten kota kepulauan untuk mengelolah SDA serta SDM dimiliki,” terangnya.

Gubernur Sultra melanjutkan, dalam RUU Daerah Kepulauan, tidak hanya mencakup daerah provinsi kepulauan yang berjumlah 8 provinsi, tetapi juga mencakup 86 daerah kabupaten kota kepulauan, dimana sebagaian besar adalah bagian dari 8 provinsi anggota BKS, dan selebihnya tidak tergabung dalam badan kerjasama BKS Provinsi Kepulauan.

RUU Daerah Kepulauan tersebut, akhirnya menjadi inisiasi DPD RI yang pada tahun 2020 lalu masuk dalam program legislasi nasional prioritas DPR RI, akan tetapi hingga berakhirnya masa sidang DPR RI tahun 2020, RUU ini belum juga disahkan. Kini tahun 2021, RUU ini kembali masuk ke dalam Program Legislasi Nasional Prioritas DPR RI.

Tujuan RUU ini yakni menjamin kepastian hukum bagi pemda daerah di daerah kepulauan, mengakui dan menghormati kekhususan dan keragaman geografis dan sosial budaya daerah kepulauan, mewujudkan pembangunan daerah kepulauan yang berkeadilan, mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berdaya saing, meningkatkan kesejahteraan rakyat secara bekelanjutan, memberikan perlindungan, dan keberpihakan terhadap hak-hak masyarakat di daerah kepulauan.

Baca Juga :  Pj Gubernur Sultra Paparkan Capaian Kinerja Pemprov 2023

Olehnya, melalui forum ini, Gubernur Sultra mengajak seluruh stakeholder yang ada di provinsi kepulauan untuk menguatkan solidaritas serta mensinergiskan pikiran dan langkah, guna mendorong pemerintah pusat dan DPR RI dalam percepatan pembahasan dan pengesahan RUU ini.

Wakil Ketua I DPD RI, Letjen TNI Marinir (Purn) DR Nono Sampono mengungkapkan, jika RUU Daerah Kepulauan tersebut telah diperjuangkan selama empat periode, sehingga menjadi catatan penting untuk diperlukannya suatu regulasi khusus, dalam mengatur ruang kewenangan dan anggaran daerah kepulauan.

“Latar belakang proses perjuangan RUU Daerah Kepulauan ini karena terjadi disparitas pembangunan nasional jawa dengan non jawa, kota dan desa, KBI dan KTI, pulau besar dengan kepulauan. Kemudian pembangunan nasional terlalu berpihak kepada KBI karena penduduk lebih padat dan pusat industri dibangun di KBI atau pulau-pulau besar serta infrastuktrunya lebih lengkap. Sedangkan kepulauan serba tertinggal, termasuk kebutuhan dasar juga infrastuktur, dan masih termiskin,” ucapnya.

Dia menerangkan, dalam membangun republik, terdapat sejumlah daerah yang memiliki otonomi khusus seperti Aceh, Yogyakarta, dan Jakarta karena memiliki kekhususan, artinya terdapat asismetri spesifikasi daerah dan kebutuhan daerah yang menuntut hal tersebut, sehingga negara memberikannya. Demikian dengan daerah kepulauan, juga memiliki masalah dan kekhususan.

“Delapan provinsi kepulauan ini karena memiliki karakteristik dan memiliki masalah klaster, sehingga Papua dan daerah kepulauan tersebut menjadi cita-cita besar Presiden RI melalui nawacita dan mewujdukan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Satunya sudah terjawab yakni Papua, tinggal daerah kepulauan lagi. Kalau ini bisa diwujudkan, maka bisa menjawab permasalahan yang ada di kawasan timur Indonesia,” yakinya.

Dia mengakui, jika RUU tersebut merupakan sebuah desain hukum untuk optimalisasi kehadiran negara, dalam mewujudkan kemajuan dan kesejahteraan di daerah kepulauan, sehingga bukan hanya janji kepada daerah.

“RUU ini telah selesai di DPD RI dan kini ada di DPR RI. Presiden RI juga telah mengutus tujuh kementerian untuk ikut pembahasan RUU ini, namun sampai sekarang belum dilakukan. Oleh karena itu, inilah yang menjadi persoalan kita dan akan kita bahas jalan apa yang bisa ditempuh serta mencari tahu permasalahan penundaan ini. Kami juga akan mendampingi Ketua BKS Provinsi Kepulauan bersama para anggotanya saat menghadap Presiden RI,” tutupnya. (adm)

Facebook Comments