Catatan : Dr. Hamzah Palalloi
ANDAI saja Indonesia memiliki banyak pewarta ala Sarjono di era postmodernisme seperti saat ini, maka (mungkin) wartawan semakin bermartabat di mata banyak orang. Bukan sekadar soal kompetensi dan kemahiran bermedia, tetapi berkait attitude sejatinya sosok pewarta yang bisa menikmati hidup apa adanya.
Sosok Sarjono yang teramat bersahaja, berbanding terbalik dengan kedudukan strategisnya sebagai Ketua PWI Sulawesi Tenggara kurun waktu 6 tahun terakhir ini, plus jabatan sosial lain sebagai ketua Persatuan Olahraga Panahan (Perpani) pada level wilayah yang sama.
Bila (saja) saat ini ia berubah menjadi lebih elitis, hedonis, dan punya pengaruh pada banyak kalangan. Maka tentu itu hal yang wajar dalam pandangan sosial banyak orang. Tetapi, Sarjono yang telah saya kenal cukup lama hanyalah pribadi yang biasa-biasa saja. Ia tetap pribadi sederhana dan terkesan culun – seperti sematan yang melekat pada pribadinya sebagai seorang ‘kopral’ – kendati ia seharusnya lebih pas menyandang atribusi ‘jenderal’ pewarta.
Kurun waktu satu semester ini, saya belum bersua lagi dengannya, kecuali dua bulan lalu ia sempat mengirim pesan whatsapp menanyakan kondisi Wali Kota Baubau – Pak Tamrin yang saat itu masih terbaring sakit. Saya menangkap pesan verbalnya sebagai bentuk keperihatinan dan naluri humanis yang ia bangun sebagai pimpinan organisasi profesi media. Ia pandai merawat hubungan dengan koleganya.
Saya sengaja membuat catatan kecil ini sebagai bentuk dukungan atas kerja keras bersama segenap kaum pewarta ‘Bumi Anoa’ menyiapkan dan menyukseskan even besar sebagai tuan rumah Hari Pers Nasional tahun 2022. Even yang biasanya dihadiri langsung Presiden RI – sebagaimana tahun-tahun sebelumnya.
Even ini tentu prestasi besar bagi Sarjono dan kawan-kawan kaum pewarta Sulawesi Tenggara, sebab untuk mengulang peristiwa ini (pasti) berbilang puluhan tahun lagi, belum lagi situasi pandemi Covid-19 yang ada. Saya yakin Sarjono dan kawan-kawan, pontang-panting berkoordinasi dengan semua pihak demi suksesnya HPN-2022. Syukurnya, Pemprop Sultra mengambil alih leader kepanitiaan. Tersisa urusan teknis kemediaan yang diatur para pewarta.
MUNGKIN bila hanya sekilas mengamati sosok Sarjono, maka terbetik pertanyaan pesimisme, apakah ia mampu menggerakkan semua potensi di daerahnya? Itu wajar, sebab sosoknya yang kecil, sederhana, dan khas kopral – jauh dari kesan bonafitas. Yang menjadi pembeda; Sarjono memiliki kompetensi komunikasi level tinggi – high level communication, yang membuatnya sebagai sosok terpercaya.
Sarjono mampu mempertahankan attitude genuine yang dimilikinya. Bila mengulik teori psikologi komunikasinya – Aristoteles; tentang bisa dipercayanya seseorang, maka Sarjono punya etos (semangat), phatos (moralitas), dan logos (pengetahuan), plus theos (kealiman). Hal yang saat ini telah memudar di kalangan banyak orang dewasa ini.
Masih berkait sosoknya, Ia mengingatkan saya tentang banyak sosok negarawan di awal bangsa ini didirikan. Semua elite bangsa saat itu hidup dalam kesederhanaan. Sarjono pun begitu, hanya pewarta biasa, bukan pimpinan redaksi juga bukan CEO media.
Satu waktu di Jakarta tahun 2019 pada urusan sejenis (HPN); Sarjono mengajak saya menginap bersama di kawasan Kebon Sirih Jakarta Pusat. Alasannya lebih dekat dengan kantor PWI pusat. Saya pikir akan menginap di hotel berkelas, nyatanya hanya di petakan kos-kosan harian yang sangat murah.
“Menginap di sini saja kita, sesuaikan dengan isi kantong. Sebab kita ini bukan siapa-siapa, toh dari kampung juga. Lagi pula tujuan kita kegiatan HPN bukan menginap di hotel berbintang,” katanya terkekeh.
Saya mengamini, namun membatin bila Sarjono bukan saja sosok sederhana, tetapi ia selalu mampu berdamai dengan keadaan hidupnya. Ia mengajarkan hidup pada kodratnya, dan selalu mampu beradaptasi dengan bentangan yang dihadapinya. Ia selalu humanis pada dirinya dan juga dunia luarnya.Selamat hari Pers, bro! (**)