Fakta Dibalik 3.5 Menit

Ridwan Badallah
Ridwan Badallah

Beberapa hari ini saya disibukan dengan undangan PWI Pusat dalam rangka pemberian penghargaan tertinggi, yakni PENA EMAS buat dua Gubernur di Indonesia. Anies Baswedan berhasil menyelenggarakan HPN 2021 di Jakarta saat melonjaknya angka pandemik Covid 19. Begitu pula, Ali Mazi berhasil sukses penyelenggaraan HPN 2022 disaat Covid 19 masih menghantui masyarakat dunia.

Mengapa kedua tokoh ini menjadi menarik bagi PWI Pusat? Keberhasilan penyelenggaraan HPN tidak berdampak pada angka penularan Covid 19. Tentunya keduanya memiliki kemampuan penanganan Covid terbaik di daerahnya.

- Advertisement -

Kita lupakan sejenak momen bersejarah di atas. Saat bersantai di salah satu ruangan bersama penggiat dan komunitas literasi digital. Pesan WA terkirim video durasi 3.5 menit terkait tiga program unggulan Ali Mazi dan Lukman Abunawas yang boleh disimpulkan sebagai pernyataan yang mengkerdilkan modernisasi infrastruktur Kota Kendari sebagai awal pembangunan Smart City.

Kegagalan pemahaman sehingga modernisasi dikorelasikan dengan rusaknya jalan di beberapa Kabupaten di Sulawesi Tenggara. Sebuah narasi dan alur pikir yang skeptif, arogan dan melawan perubahan. Jika menarik ke depan, narasi tersebut lebih kepada late hero dalam mengejar elektabilitas dan simpati masyarakat. Maklum panggung politik 2024 sudah ramai panjat sosial untuk meraih simpati masyarakat. Agar saya tidak terjebak dengan penuduhan, sebut saja kejadian tersebut sebagai “3.5 menit”.

Mengapa diperlukan modernisasi infrastruktur di Sultra? Kendari itu ikon Sultra. Potret majunya Sultra ada di Kota Kendari dan penyangga 16 kabupaten kota lainnya. Untuk membuka akses ke kabupaten kota lainnya maka modernisasi infrastruktur Kota Kendari sangat diperlukan.

Tujuan yang diharapkan adalah terciptanya SDM yang SEHAT, CERDAS, BERDAYA SAING TINGGI. Ketiga tujuan ini telah diterjemahkan dalam tiga program nyata Ali Mazi dan Lukman Abunawas (AMAN), yakni, 1). Meningkatkan standar kesehatan masyarakat dengan membangun RS Jantung dan Pembuluh Darah (RSJPD) terbesar dan tercanggih, 2). Mencerdaskan masyarakat dengan modernisasi perpustakaan daerah; dan 3). Membuka akses pembangunan ekonomi kreatif dengan membangun jalan Toronipa.

A. Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah (RSJPD)

Penyakit jantung menjadi pembunuh nomor 1 di dunia. Kalimat ini menjadi point penting bagi kepala daerah dalam memilih dan memilah program yang tepat, hemat biaya dan memudahkan akses bagi masyarakat. Membangun RSJPD bukan hal mudah karena dibutuhkan komitmen dan keberanian pimpinan daerah. Selain tim tenaga ahli yang representatif, alat medis yang canggih dan tak kalah penting adalah infrastruktur bangunan yang membuat pasien merasa nyaman dan pengunjung atau keluarga pasien mendapatkan ruang selalu siaga memberikan dukungan agar pasien segera sembuh.

Menilik RSJPD di Indonesia, terdapat Primaya hospital (yang tersebar di sejumlah kota di Pulau Jawa dan Makassar), RS Jantung Jakarta, RS Jantung Binawaluya, RS Jantung Medistra, RS Jantung Primier Surabaya dan RS Jantung Harapan Kita. Dari keseluruhan RSJPD tersebut, semua berada di pulau Jawa. Bahkan sekelas Sulawesi Selatan hanya memiliki Poli Jantung di RS Wahidin.

Baca Juga :  Pemprov Sultra, Tidak Ada Alasan? Cabut IUP di Konkep

Lalu, apa yang salah dan tidak prioritas dengan pembangunan RSJPD standar terbaik di Indonesia yang dibangun di Kota Kendari? Apalagi menjadi program Sultra Emas, yakni sultra sehat. Berdasarkan data prevalensi penyakit jantung masyarakat Sultra data Riskesdas tahun 2018 sebagai berikut :

1. Kelompok umur

2. Dari tiga juta penduduk sultra yang terdeteksi berpenyakit jantung (yang sempat memeriksakan diri ke dokter) sebesar 40.200 (1.34%) laki-laki dan 43.500 (perempuan) yang didiagnosa penyakit jantung.

Dari data di atas, disimpulkan bahwa pernyataan 3.5 menit sebagai asumsi provokatif dan menyesatkan. Pernyataan kerdil dengan mengkorelasikan pembangunan infrastruktur jalan.

Pertanyaannya, Apakah membangun RSJPD bukan membangun infrastruktur? Apakah mendatangkan tenaga dokter spesialis JPD dan menyekolahkan putra daerah spesialis JPD keluaran UHO bukan sebagai program daya saing daerah? Apakah menyiapkan pelayanan RSJPD selevel RS Harapan Kita bukan merupakan sebuah kebijakan memudahkan dan memangkas biaya pengobatan kepada masyarakat Sultra?

Jawabnya, hadirnya RSJPD sangat diharapkan untuk menekan tingkat kematian akibat penyakit tersebut karena keterlambatan penanganan, mahalnya biaya dan memotong jarak untuk memeriksakan kesehatan. Satu lagi dengan hadirnya RSJPD membuka peluang kerja bagi cleaning service, tukang parkir, kuliner (UMKM), sablon, advertising, perawat, apoteker, room-boy, akuntan, pelaku usaha, akademisi dan masih banyak lagi. Semua untuk kemajuan Sulawesi Tenggara.

B. Perpustakaan Modern

Ingat “IQRA” bahwa Allah SWT telah sangat jelas menyampaikan dalam ayatnya bahwa manusia (UmatNya) agar tidak dungu maka bacalah. Dari sini sudah dapat menakar rendahnya 3.5 menit. Betapa gagal pahamnya 3.5 menit, jika menganggap membangun perpustakaan modern sebagai sebuah program tidak prioritas. Lebih gagal paham lagi jika dikatakan cukup membuka Om Googgle sudah bisa mengetahui manfaat daun kelor.

Rhenald Kasali (2017) menyatakan jika perpustakaan dan pustakawan tidak diubah seiring dengan era distrupsion maka profesi dan pustaka itu sendiri akan punah. Jika ini terjadi maka dapat dibayangkan akan menjadi sebuah masa kelam dan kebodohan yang siap kita hadapi. Masyarakat hanya disuguhkan dengan informasi dan berita hoaks, hate-spech, fitnah dan provokasi. Masyarakat tidak memperoleh filterisasi dalam perolehan informasi dan berita. Dengan mudahnya masyarakat percaya informasi dan berita di Om Googgle yang kita tahu semua bahwa akan menyesatkan tanpa adanya perimbangan perpustakaan yang modern.

Menilik pernyataan di atas, justru kita berterima kasih dengan program Sultra Cerdas (Sultra Emas) dengan salah satu uapaya Ali Mazi membangun pusat literasi dengan konsep perpustakaan modern. Konsep ini bukan hanya bangunannya yang megah berlantai 8 tetapi infrastruktur dan fasilitasnya sudah didesain menjawab era distrupsion.

Tidak akan cukup kolom ini jika saya ulas pentingnya perpustakaan modern yang dibangun di Kota Kendari. Hanya saya mau katakan bahwa korelasi antara infrastruktur jalan dan perpustakaan modern cukup reliabel seiring dengan kebutuhan akan mencerdaskan masyarakat Sultra. Dengan kehadiran perpustakaan modern di Kota Kendari telah membantu program Nasional dalam rangka menguatkan jejaring dan infrastruktur pendukung literasi di Sultra.

Baca Juga :  Kenapa Harus Ada “Kawin Paksa” Sultra Daratan dengan Sultra Kepulauan di Pilgub Sultra?

Dampak lainnya bahwa perpustakaan modern bukanlah Gedung yang hanya diisi buku-buku tapi termasuk ruang bagi komunitas kreatif, penggiat literasi, UMKM, pelaku usaha, akademisi, pelajar, mahasiswa dan bahkan distabilitas dalam pemberian dan pemenuhan kebutuhan akan infrastruktur modern dalam membuka jendela ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu, Sultra memiliki infrastruktur monumental yang dapat dibanggakaan dalam pentas nasional serta mendukung konsep Kota Modern.

C. Jalan Poros Toronipa

Tujuan membangun adalah memenuhi kebutuhan masyarakat akan akses kemudahan, kenyamanan dan peluang akses usaha. Sejak jaman bahlul sampai hari ini, betapa sengsaranya masyarakat yang berdiam di Kota Kendari dan Kabupaten Konawe jika hendak melintasi jalan tersebut. Kecil, becek dan berlobang menjadi suguhan selama berpuluh-puluh tahun. Enam bulan setelah di aspal maka akan kembali menjadi genangan lumpur dan bergelombang. Ibarat cempedak yang tiada batas masanya.

Lalu, Ali Mazi berani membuka akses jalan tol berbasis betonisasi di 14 KM jalan Toronipa karena peluang eko-wisata, industrialisasi pariwisata serta internasional airport berpeluang untuk dibangun disana. Keindahan Pantai Toronipa, Pulau Bokori, Desa Wisata Soropia, Pantai Batugong, Pulau Labengki dan wakatobi jika dikemas dalam konsep golden triangle akan menjadi peluang investasi wisata jangka Panjang.

Apalagi jika pembangunan aiport Internasional di Toronipa jelas akan mengubah peta penerbangan yang selama ini Hasanuddin Airport mengusai Sulawesi kemudian dari aspek pariwisata akan membuka akses Bali-Lombok-Kendari-Jakarta. Tentunya ini baru mimpi program jangka Panjang. Mengapa tidak? Salah satu penghambat Wakatobi sebagai 10 Destinasi Wisata nasional namun setiap tahunnya pengunjung mancanegara dan nasional tidak sesuai Batasan kuota, karena wisatawan yang berkunjung tercatat di Makassar sebagai transit.

Ini harus kita raih. Persyaratannya? Bangun akses jalan, airport internasional, Kota Kendari sebagai penyangga wisata (perhotelan dan kuliner), komunitas kreatif, suguhan budaya sebagai bahan baku wisata maka dengan sendirinya asumsi 3.5 menit terbantahkan dan bahkan akan terbantahkan dengan jalan poros Toronipa saat ini.

Hadirnya 3.5 menit disebabkan kegagalan paham, menghina dan tidak layak disampaikan. Ali Mazi telah membangun pondasi wisata, tinggal selanjutnya untuk membangun konsep wisata terpadu di Sultra. Apalagi 3.5 menit menyatakan mustahil pariwisata Sultra menasional. Sangat disayangkan pernyataan tersebut yang secara pribadi saya sebagai warga Sultra malu menonton video berdurasi 3.5 menit. Jalan Poros Toronipa akan menjadi basis PAD Sultra jika kita semua warga Sultra tidak menjadikan hati ini sakit karena keberhasilan pembangunan tersebut.

D. Buton Utara dan KEK

Menyimak video 3.5 menit menggelitik ruang bawah sadar saya akan arti kedunguan dan kegagalan berpikir kritis. Isu yang disajikan sebagia berikut : 1) jalan rusak penghubung Buton Utara, Buton, Bau-Bau; 2) Kawasan Ekonomi Khusus (KEK); 3) Mustahil Pariwisata Sultra Go-nasional. Jawabnya dari kedunguan artikulasi dan kegagalan berpikir kritis demikian.

Baca Juga :  Empat Prinsip Ditegakkan, Mendahului Sara Pataanguna

Jalan ruas Buton Utara telah dianggarkan dan dalam proses pengerjaan. Hanya dikarenakan cuaca Sultra yang hujan sampai dengan bulan ini maka dengan sendirinya timbunan tanah akan menjadi lumpur yang berkubang.

Selanjutnya, Apakah Buton Utara masuk Kawasan KEK? Jawabnya BELUM. Data tahun 2021 ada 19 Kabupaten/Kota masuk Kawasan KEK, yakni : Arun Lhokseumawe, Aceh; Sei Mangkei, Sumut, Batam Aero Technic, Kepri (belum beroperasi); Nongsa, Kepri (belum beroperasi); Galang Batang, Kepri; Tanjung Api-Api, Sumut (belum beroperasi); Tanjung Kelayang, Babel; Tanjung Lesung, Banten; Lido, Bogor (belum beroperasi); Kendal, Jateng; Gresik, Jatim (belum beroperasi; Singhasari, Malang (belum beroperasi); Mandalika, Lombok Tengah; MBTK, Kutai Timur; Palu, Sulteng; Likupang, Sulut; Bitung, Sulut; Morotasi, Morotai; serta Sorong, Papua Barat.

Lalu mana yang disebut KEK dalam 3.5 menit. Ini mempertegas bahwa 3.5 menit hanya mampu beretorika manis dengan janji namun tidak melakukan upaya agar salah satu daerah Sultra masuk KEK. Mestinya tidak hanya mengkritik tetapi memperjuangkan Buton Utara masuk KEK agar pemerintah pusat dapat memikirkan akses pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut. Bukan kemudian menjustifikasi pemerintah provinsi tidak peka dalam upaya tersebut.

Substansi KEK adalah program pemerintah dalam membuka akses darat, laut dan udara bagi Kawasan ekonomi khusus bagi daerah yang memiliki potensi keunggulan geoekonomi dan geostrategis, industrialisasi, ekspor, impor, kegiatan ekonomi yang memiliki nilai ekonomi tinggi, pusat pertumbuhan batu, perdagangan serta potensi dan nilai jual pariwisata sehingga dapat menciptakan lapangan kerja.

Pertanyaan saya, sudahkan 3.5 menit melakukan fisibilitas studi bahwa pada umumnya jalan Buton Utara lebih kepada mobilitas perjalanan dinas, pedagang kecil, mudik dan sepersekian persen saja digunakan akses ekonomi. Alasannya karena terdapat akses pelabuhan laut yang harusnya diperbaiki menjadi potensi akses tol laut.

Pemerintahan Abu Hasan ketika melakukan ekspor perkebunan dll yang kemudian didukung penuh oleh Gubernur Sultra. Launching dan eksport perdana di Pelabuhan Bungkutoko. Apakah sudah ada peran 3.5 menit bagaimana mengupayakan di pusat agar dibangunkan dermaga laut di Butur yang representatif sehingga memudahkan pengiriman ke pelabuhan Bungkutoko ketimbang melalui jalan darat Buton Utara dan melintas Ferry ke Amolengo dan melintas darat 100 Km. Tentunya dari aspek cost distribussion lebih besar ketimbang sekali pengangkutan di pelabuhan laut Buton Utara.

Kembali ke KEK, Morotai itu KEK dari aspek pariwisata. Kenapa tidak kita harus akui dan objektif bahwa Ali Mazi melalui pembangunan Jalan Poros Toronipa sebagai pembuka akses Kota Kendari dan Kabupaten Konawe masuk kategori KEK. Tentunya, dengan niat baik 3.5 menit untuk mendukung, memberi solusi dan membantu akses ke pemerintah pusat dan bukan memberi pernyataan yang arogan, provokatif dan skeptif. (***)

Penulis : ERBE
Juru Bicara Gubernur Sultra
Kepala Dinas Kominfo
Penggiat Ekonomi Kreatif

Facebook Comments