Jakarta, Rubriksultra.com- Gubernur Sultra, Ali Mazi, selaku Ketua Badan Kerja Sama Daerah Kepulauan menggaungkan agar Rancangan Undang-Undang (RUU) Daerah Kepulauan menjadi isu nasional. RUU Daerah Kepulauan sendiri memiliki sejarah yang cukup panjang, dimana hampir 20 tahun, RUU yang memuat gagasan kesetaraan dan perlakuan adil di daerah berciri kepulauan, ini belum juga dibahas dan disahkan.
Pada masa kerja DPR periode 2014-2019, telah terbentuk panitia kerja RUU Daerah Kepulauan dan Presiden Joko Widodo telah memerintahkan tujuh kementerian untuk membahas rancangan undang-undang tersebut bersama DPR.
Tujuh kementerian itu adalah Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Keuangan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Perhubungan, dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Hanya saja, pembahasan tidak berlanjut karena sejumlah kementerian tak menyerahkan Daftar Inventarissi Masalah (DIM). Sejak itu, tiada tindak lanjut atas RUU Daerah Kepulauan ini.
Asisten Deputi Koordinaasi Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Syamsuddin menyampaikan alasan di balik bergemingnya pemerintah dalam pembahasan RUU tersebut.
“Kenapa pembahasan RUU Daerah Kepulauan ini berlanjut? Karena hampir 75 persen muatan dalam rancangan RUU itu telah diatur dalam undang-undang yang ada,” kata Syamsuddin dalam Working Group Discussion RUU Daerah Kepulauan, Kamis 3 November 2022.
Provinsi Kepulauan adalah tidak memperhitungkan secara proporsional wilayah kelautan dan daratan dalam distribusi keuangan, khusus DAU dan DAK, sehingga defenisi luas wilayah antar wilayah dan kelautan harus equal, (adil)
Sejumlah undang-undang yang telah membuat sejumlah unsur dalam RUU Daerah Kepulauan di antaranya, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, Undang-Undang Cipta Kerja, dan sebagainya.
Ihwal muatan yang sama dalam RUU ini, menurut dia, dikhawatirkan menciptakan duplikasi dan tumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Kemudian ada pula kekhawatiran RUU Daerah Kepulauan ini menyimpang dari prinsi dasar konsitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Ini barangkali yang sebaiknya menjadi bahan pertimbangan pembahasan lanjutan RUU Daerah Kepulauan,” ujar Syamsuddin.
Saat ini, RUU Daerah Kepulauan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023. Menurut Syamsuddin, pada prinsipnya, pemerintah mendukung upaya menguatkan dan memajukan setiap daerah. Apabila hendak mendorong RUU ini, Syamsuddin menyatakan, pemerintah terbuka untuk berdiskusi dengan perwakilan pemerintah daerah kepulauan guna membahas lebih detail.
“Kita bisa rapat untuk menyatukan pendapat tentang kelanjutan RUU Daerah Kepulauan ini,” ujarnya.
Ihwal 75 persen muatan RUU Daerah Kepulauan yang sudah diatur dalam undang-undang lain, Ketua Badan Kerja Sama Daerah Kepulauan yang juga Gubernur Sulawesi Tenggara, Ali Mazi mengatakan, kalaupun pengaturan itu bersinggungan dengan isi RUU Daerah Kepulauan, buktinya belum ada manfaat yang dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di daerah berciri kepulauan.
“Kami ini kaya sumber daya alam, tetapi miskin. Kalau bicara mati, kami tidak akan mati. Kami ada jagung, ikan, dan banyak lagi sumber pangan. Tetapi kalau bicara sekolah, kami gadaikan dulu harta yang ada. Ini terjadi karena ketidakadilan,”katanya.
Ali Mazi menegaskan, RUU Daerah Kepulauan tidak meminta hal yang muluk-muluk, melainkan persamaan. “Karena daerah kepulauan punya potensi yang luar biasa. Jangan sampai kepala daerah hanya menjadi penonton dari berbagai sumber daya di daerah yang dinikmati oleh orang luar,” tegasnya.
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) Nono Sampono mengatakan, RUU Daerah Kepulauan yang menjadi inisiatif DPD berangkat dari banyaknya keterbatasan dalam mengelola daerah berciri kepulauan.
“Daerah kepulauan identik dengan daerah miskin,” katanya.
RUU Daerah Kepulauan, Nono melanjutkan, merupakan desain hukum untuk menjawab berbagai persoalan di daerah kepulauan, yakni kemiskinan, kesenjangan, dan ketertinggalan pembangunan nasional. Ada tiga isu utama dalam RUU Daerah Kepulauan, yakni kewenangan mengelola wilayah, sistem pemerintahan, dan anggaran. (adm)