Duel Calon Pemimpin Buton Tengah

Oleh : Ernesto Gafarudin

Kandasnya bakal calon dari petahana untuk maju dalam gelanggang perpolitikan pemilihan Bupati Buton Tengah mewarnai hiruk pikuk pemilukada yang akan segera berlangsung. Dua kandidat dinyatakan saat ini, lolos verifikasi administrasi oleh KPUD Buton Tengah, setelah bakal calon dari petahana batal mendapatkan tiket untuk maju dalam pemilukada.

- Advertisement -

Duel calon pemimpin yang memiliki latar belakang berbeda ini, belakangan semakin panas dan sengit dalam dinding-dinding media sosial seperti facebook dan WAG yg dipompa oleh relawan dari dua kandidat.

Framing dibangun berlandas emosi dan sentimen makin tak terkendali. Para tetua dalam dunia politik, ikut menyiram ‘nyala api’ ini dengan semburan2 kalimat yang makin memperuncing susasana seakan ada perang badar menanti di ujung sana. Orang awam dalam dunia politik, dirujak perasaan dan pikirannya hanya sebatas menang dan kalah.

Bertambah pula ungkapan yg berkembang, yang zalim melawan yg tidak zalim. padahal, framing seperti ini, jelas sekali juntrungannya memperkeruh suasana serta membonsai pikiran rakyat dalam corong polarisasi yg kurang beradab.

Dari menelusuri jejak rekam dua kandidat calon Bupati Buton Tengah ini, kita bisa menyederhanakan duel antara Pengusaha Vs Akademikus. Pengusaha yang cukup sukses dalam meniti karirnya dan akademis yang populer dalam puluhan tahun belakangan dari kiprahnya di dunia pendidikan.

Dalam literatur ilmu politik, ada yang namanya perspektif ekonomi-politik. Perspektif ini memotret peran para aktor negara dalam membingkai kebijakan publik. Biasanya, kebijakan publik diformulasikan dalam visi-misi para calon kandidat yang akan bertarung.

Kebijakan-kebijakan yang akan menentukan masa depan suatu daerah. Oleh karenanya, menentukan sekaligus memilih calon pemimpin kepala daerah merupakan ikhtiar masyarakat dalam menentukan masa depan daerahnya.

Baca Juga :  Gerindra dan Puing-puing Koalisi Opisisi

Dalam perspektif ekonomi-politik, ‘ state actor ‘ mengutip Jefrey Winters, lebih menekankan peran para aktor dalam mempertahankan kekayaannya. Analisis berbasis aktor semacam ini berkecenderungan mendorong masyarakat untuk membuat kategorisasi berbasis latar belakang ideologisnya. Basis ideologis ini menjadi panduan bagi masyarakat dalam menentukan calon pemimpinnya.

Salah satu peran kepemimpinan yang paling urgen belakangan ini adalah mereka yang mampu mengkapitalisasi amarah, kepentingan dan pengharapan dalam wadah yang memberdayakan sekaligus meningkatkan produktifitas basisnya dalam menghadapi perhelatan Pemilukada di Buton Tengah.

Wajah kepemimpinan seperti ini yang akan membawa suasana pemilukada bukan sekadar menang dan kalah, yang menghina dan terhina, yang zalim dan terzalimi, akan tetapi membawa pikiran-pikiran rakyat dalam pertarungan gagasan.

Ide dan gagasan yang dapat diukur dengan tolok ukur data dan pengalaman yang akan diambil dan ditentukan sebagai visi-misi untuk memajukan sekaligus meningkatkan ekonomi daerah yang akan dipimpinnya.

Pada umumnya dalam politik, kita mengenal yang namanya antagonisme moral. Pertentangan moral ini, kerap kali menjadi kampanye dalam mengais suara-suara rakyat.

Dalam populisme politik, warga negara dianggap sebagai konsumen semata, itu mengapa marketing politik sebagai suatu pendekatan politik mendapat tempat yang cukup luas dalam pemilu-pemilu di alam demokrasi.

Populisme politik ini, senantiasa mematikan pikiran-pikiran rakyat dalam mengawal jalurnya demokrasi pada kebebasan. Kebebasan dalam dunia politik, kata Hanna Arendt , adalah suatu yang substansi dalam meningkatkan subjek politik untuk mencapai tujuan bersama. Pertentangan dalam mencapai tujuan itu adalah hal yang tak terelakan.

Manfaatnya, kita mendapatkan pemimpin yang mampu mengkapitalisasi pengharapan kita dalam bernegara. Namun, populisme politik, tak jarang membawa kita pada calon pemimpin yang berkecenderungan terjadinya pengkultusan individu. Gejala ini merupakan pengagungan berlebihan terhadap seorang sosok individu, yang ditandai dengan pujian tanpa kritik dan pengidolaan yang tak rasional.

Baca Juga :  Cermin Evaluasi Saat Ulang Tahun Daerah

Fenomena ini kerap muncul pada pemimpin yang dianggap sebagai simbol utama, bahkan lebih penting daripada nilai atau aspirasi yang diwakilinya. Dalam kebiasaan politik yang tidak demokratis, terjadi pujian secara berlebihan, seolah-olah pemimpin tidak pernah berbuat salah, dan perbedaan pendapat dianggap sebagai bentuk pengkhianatan.

Sejalan dengan itu, masyarakat akan cenderung mengabaikan kelemahan atau kesalahan pemimpin dan bahkan mendukung tindakan yang merugikan demi menjaga citra kultusnya yang ideal.

Pemimpin tersebut cenderung memanfaatkan dukungan ini untuk memperkuat kekuasaan, mengabaikan prinsip demokrasi dan kebebasan berpendapat. Pemimpin yang dikultuskan dapat memperlemah fungsi institusi negara, menghambat kemajuan dan menciptakan iklim demokrasi yang tidak sehat bagi perkembangan masyarakat.

Pemilukada tentu saja punya peran penting dalam membentuk karakter kepemimpinan yang akan menahkodai suatu daerah dalam upaya memajukan kesejahteraan bersama. Dengan partisipasi politik yang tidak gontok-gontokan dan berbalut intoleransi. Kita berharap, pemilukada kali ini, akan melahirkan pemimpin yang merangkul semua kalangan masyarakat dalam memajukan daerah. (***)

Facebook Comments