Catatan : La Ode Aswarlin
BAUBAU, Rubriksultra.com – Di tengah hiruk-pikuk ekonomi yang semakin menantang, minyak goreng merek “Minyak Kita” kembali menjadi isu panas di Kota Baubau.
Bukan karena kelangkaan, melainkan karena harganya yang meroket di pasaran. Sayangnya, yang menjadi kambing hitam justru para pedagang kecil, sementara pemicu utamanya distributor seolah lepas dari tanggung jawab.
Sejak awal, harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng rakyat telah diatur dalam Surat Keputusan Menteri Perdagangan No. 1028 Tahun 2024.
Dalam aturan ini, distributor seharusnya menjual minyak goreng ke pengecer dengan harga Rp 14.500 per liter atau sekitar Rp 174.000 per dos (isi 12 pcs).
Namun, realitas di lapangan berkata lain. Distributor di Baubau justru menjual dengan harga Rp 15.600 per liter atau Rp 187.000 per dos, jauh di atas HET yang ditetapkan pemerintah.
Kondisi ini otomatis memaksa para pedagang menaikkan harga jual ke tingkat pengecer hingga Rp 17.000 – Rp 18.000 per liter demi tetap mendapatkan margin keuntungan yang wajar, yakni sekitar Rp 1.400 – Rp 2.400 per liter.
Sementara itu, pedagang juga harus menerima kenyataan bahwa mereka hanya dijatah maksimal 10 dos per pembelian. Celakanya, ada dugaan bahwa jatah lebih besar diberikan kepada pihak tertentu yang hubungan khusus dengan distributor.
Ketika Pemerintah Datang Sebagai Pahlawan Kesiangan?
Awalnya, kondisi ini berjalan normal tanpa ada masalah berarti. Namun, ketika memasuki bulan Ramadan saat permintaan minyak goreng meningkat tiba-tiba pemerintah turun tangan. Sayangnya, bukan distributor yang mereka tertibkan, melainkan para pedagang kecil yang disidak.
Dengan dalih menegakkan aturan, pedagang dipaksa untuk menjual minyak goreng sesuai harga yang tertera di kemasan, yakni Rp 15.700 per liter.
Pemerintah menggelar operasi pasar dan inspeksi mendadak (sidak) ke toko-toko, menyalahkan pedagang yang menjual lebih dari HET. Tanpa mempertimbangkan harga beli dari distributor, pedagang didorong untuk menekan harga jual mereka hingga margin keuntungan hanya Rp 100 per liter angka yang nyaris tidak masuk akal dalam dunia perdagangan.
Setelah “menertibkan” pedagang, pemerintah mengadakan pasar murah dengan menggandeng distributor sebagai mitra. Seakan-akan pedaganglah yang telah merugikan masyarakat dengan menaikkan harga minyak goreng. Padahal, masalah utamanya bukan di pedagang, melainkan pada rantai distribusi yang sudah bermasalah sejak awal.
Jika saja distributor menjual sesuai HET, maka pedagang juga pasti akan mengikuti harga resmi yang telah ditetapkan. Namun, ketika distributor menjual dengan harga tinggi, pedagang tidak punya pilihan lain selain menyesuaikan harga agar tidak merugi.
Sayangnya, alih-alih menyasar akar masalah, pemerintah justru lebih sibuk menekan pedagang kecil. Pertanyaannya sekarang, sampai kapan kondisi ini dibiarkan? Sampai kapan distributor bisa terus bermain harga tanpa pengawasan ketat? Dan mengapa pemerintah lebih mudah menyalahkan pedagang kecil ketimbang menertibkan distributor yang jelas-jelas melanggar aturan?
Jika drama ini terus berlanjut tanpa solusi konkret, yang dirugikan bukan hanya pedagang, tetapi juga masyarakat luas yang selalu menjadi korban permainan harga.
Sementara itu, mereka yang di puncak rantai distribusi akan terus menikmati keuntungan tanpa tersentuh aturan. Sebuah potret ketidakadilan yang nyata dalam pasar minyak goreng di Baubau. (adm)