PASARWAJO, Rubriksultra.com- Kabupaten Buton tak hanya terkenal akan aspalnya, namun juga menyimpan harta warisan leluhur yang tak ternilai harganya. Warisan ini bukanlah harta yang bersifat materi, melainkan berupa adat istiadat dan budaya yang mengandung nilai estetika sebagai pandangan dan identitas pemersatu.
Oleh Pemerintah Kabupaten Buton, keberagaman budaya ini terus dilestarikan. Nilai luhur dari peninggalan budaya tua masa lampau dijadikan kekuatan pemersatu yang dikemas dalam event Festival Budaya Tua Buton.
Kini, di tahun 2019 terhitung sudah tujuh kali Festival Pesona Budaya Tua Buton diselenggarakan dengan mengangkat tema “Budaya Tua dan Masa Depan”. Festival ini sukses digelar selama enam hari berturut-turut dari 16 Agustus hingga 24 Agustus 2019.
“Tema budaya tua dan masa depan bermakna bahwa betapa luhur dan kuatnya budaya tua Buton untuk menyatukan perbedaan dan memperkokoh persatuan,” kata Bupati Buton, La Bakry saat memberikan sambutan diacara Pekakande-kandea, Sabtu 24 Agustus 2019.
La Bakry menjelaskan, saat ini festival budaya tua Buton telah menjadi kebutuhan. Khususnya bagi masyarakat yang dari sisi ekonomi tidak mampu untuk melaksakan tradisi leluhur.
Beberapa tradisi tua yang diangkat yakni tradisi Dole-dole. Tradisi ini telah diwariskan secara turun temurun dari masa kerajaan Buton yang dipercaya untuk memberikan kekebalan tubuh atau imunisasi secara alamiah bagi masyarakat Buton.
Lalu ada trasisi Posuo (Pingitan). Tradisi ini diperuntukan untuk anak gadis remaja Buton sebelum memasuki usia dewasa.
Selanjutnya tradisi Tandaki (sunatan tradisi Buton). Tradisi sunatan ini ditujukan bagi anak laki-laki yang telah memasuki masa akil baliq, yang melambangkan bahwa anak laki-laki tersebut berkewajiban untuk melaksanakan segala kebaikan dan menghindari yang terlarang.
Tradisi tersebut menurut La Bakry, jika dilaksanakan perorangan tentunya membutuhkan biaya yang cukup besar dan mahal. Pada akhirnya masyarakat yang kurang mampu ekonominya akan sulit melaksanakannya. Sementara bagi masyarakat Buton, tradisi ini wajib dilaksanakan.
“Sehingga Pemkab Buton berinisiatif untuk dilaksankan secara massal, dalam rangka membantu kesulitan ekonomi masyarakat juga sebagai promosi dan ekspos sehingga tradisi ini mampu menjadi daya tarik,” jelasnya.
Sebagai rasa syukur setelah menggelar ritual tradisi tersebut, maka diselenggerakanlah acara pekande-kandea. Pekande-kandea adalah tradisi masyarakat Buton, yang pada zaman dahulu dilaksanakan untuk menyambut para pejuang kembali dari medan pertempuran.
La Bakry menambahkan, pada festival Buton 2019 juga di gelar sejumlah kegiatan diantaranya lomba kesenian dan permainan rakyat yang di perlombakan diantaranya lomba dayung, lomba seni bela diri, lomba pemilihan La Oti dan Wa Oti, lomba layang-layang, bakiak, engrang, dan hadang.
Kemudian adapula Buton Expo. Ada 67 stand yang ditempati OPD, lembaga perbankan, perusahaan, biro travel dan pengrajin. Melalui ekspo ini OPD berkesempatan menampilkan capaian kinerja pemerintah daerah. Sementara bagi pengrajin dapat menampilkan hasil kreasinya.
Festival budaya tua Buton 2019 juga di hadiri wisatawan asing peserta sail wonderfull indonesia. Sejak tanggal 12 Agustus mereka sudah mulai berdatangan menggunakan kapal yacht.
Tercatat ada kapal yacht yang berlabuh di teluk pasarwajo berjumlah 34 kapal dengan awak sebanyak 78 orang. Mereka berasala dari 14 negara berbeda, yakni Amerika Serikat, Inggris, Spanyol, Australia, Jerman, Polandia, Swiss, New Zeland, Turki, Belanda, Kanada, Norwegia, Swedia dan Malaysia.
Gubernur Sultra Terpesona
Gaung Festival Budaya Tua Buton 2019 begitu besar. Tak ayal bila Gubernur Sultra, Ali Mazi dibuat terpesona.
Festival yang sudah masuk dalam kalender pariwisata nasional itu dinilai orang nomor satu di Sultra ini sebagai gagasan yang luar biasa. Ia pun memberikan apresiasi yang tinggi kepada Pemerintah Kabupaten Buton.
“Kabupaten Buton telah berhasil berhasil membuat suatu gagasan dalam bentuk pagelaran festival budaya tua Buton, sehingga masyarakat bisa berkumpul. Ini patut kita apresiasi tinggi,” katanya.
Ali Mazi mengaku akan memberikan dukungan dan bantuan pada pelaksanaan festival pesona budaya tua Buton pada 2020 mendatang.
“Hal ini penting agar gaung festival budaya tua ini semakin besar sebagai promosi dan memperkuat entitas diri daerah,” katanya.
Lima Ribu Penari Kolosal Pukau Pengunjung
Puncak Festival Budaya Tua Buton 2019 ditutup dengan penampilan apik lima ribu penari kolosal. Tiga jenis tarian lokal yaitu tari Ponare, tari badendang, dan tari Alionda sukses memukau para pengunjung.
Tari Ponare yang energik menanamkan semangat perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 kepada generasi penerus.
sementara tari Badendang dan Alionda merupakan tarian pergaulan yang mengisyaratkan putra putri bangsa agar memperkuat semangat sumpah pemuda dan menanamakan nilai luhur adat istiadat Buton yang hidup rukun dan damai.
Konfigurasi ketiga tarian ini membentuk nanas, diapit perisai dan gadis pembawa Bhosu (Belanga) memperlihatkan simbol kearifan lokal. Daun yang tumbuh diatas mahkota nanas sebagai simbol pemimpin yang mengayomi rakyat.
Bukan hanya warga lokal yang ikut larut dalam kemeriahan. Terlihat pula para wisatawan asing ikut menari bersama dipuncak Festival Budaya Tua Buton ini. (***)