Setelah membisu sejak usai dilantik 2017 lalu, kasus tersebut kembali mencuat di permukaan dengan adanya laporan hasil pemeriksaan Ombudsman RI.
Ombudsman RI menegaskan bahwa jurnal yang dibuat oleh Zamrun kategori plagiat. Itu diperoleh setelah Ombudsman meminta keterangan para pihak termasuk Zamrun, pelapor, dan tim Kemenristekdikti yang menyatakan jurnal Zamrun tidak plagiat.
Tentu, kesimpulan Ombudsman itu, merupakan informasi baik bagi beberapa guru besar.
Menyikapi temuan Ombudsman, beberapa guru besar yang diwakili Prof La Ode Muhammad Aslan menggelar konferensi pers, Senin 5 Februari 2018.
Didampingi mantan Ketua Tim Hukum UHO Salimin SH MH, Aslan menyebut, bila karya jurnal milik Zamrun diperhadapkan dengan Permendikbud RI Nomor 17 tahun 2010 pasal 1 angka 1 dan pasal 2 ayat (1) tentang pencegahan dan penanggulangan plagiat di perguruan tinggi serta kaidah tata cara penulisan karya ilmiah akademik yang telah berlaku universal, maka dapat disimpulkan bahwa karya ilmiah Muh Zamrun Firihu merupakan bentuk plagiat terhadap karya ilmiah lainnya.
“Di sini kita lihat bahwa Kementrian tidak proposional dalam mengunakan Permen Nomor 28 Tahun 2014 pasal 40 ayat 1 dengan kata plagiat. Kalau kita merujuk pada kata plagiat itu artinya pencurian terhadap kekayaan hak intelektual orang lain,” kata Aslan di hadapan sejumlah wartawan, di salah satu hotel di Kendari, Senin 5 Februari 2018.
Mantan Dekan Fakultas Perikanan ini melanjutkan, dugaan plagiat yang dilakukan Zamrun secara nyata telah menodai marwah pendidikan dan institusi perguruan tinggi.
Sebab, pencurian hak cipta milik orang lain menyangkut moral dan etika. Untuk itu, tekan dia, Zamrun harus dicabut gelar sebagai profesor karena mengunakan jurnal hasil plagiat untuk menjadi guru besar.
“Etikanya adalah Muh Zamrun harus dicabut guru besarnya, karena dia pimpinan telah memberi contoh yang tidak bagus kepada civitas akademika. Dan harus diberhentikan sebagai guru besar, dan diberhentikan sebagai rektor,” kata Aslan.
Dia menjelaskan, hasil penilaian yang dilakukan oleh tim Kemenristekdikti jauh dari proporsional bila dibandingkan dengan hasil pemeriksaan Ombudsman.
Sembilan tim pakar yang dipercayakan Kemenristekdikti, sama sekali tidak melakukan langkah seperti yang diatur dalam Undang-Undang maupun permen.
Kajian dari pihak Ombusman RI, menurutnya lebih berkualitas, proposional dan lebih rasional karena Ombusman tidak hanya meminta keterangan dari pihak pelapor (30 guru besar) dan keterangan pihak terlapor Muhamad Zamrun, tetapi juga meminta keterangan tim independen yang ditunjuk Kemenristekdikti.
“Kami dipanggil, Muh Zamrun, pihak kemenristek, pakar fisika, pakar bahasa, pakar hukum dan bahkan ada pakar hak cipta yang dipanggil oleh Ombusman untuk mengambil keterangan terkait dugaan plagiat,” tuturnya.
Di tempat yang sama, mantan tim Hukum UHO Salimin SH MH menyebut, yang bisa memberhentikan Zamrun dari jabatannya adalah Keputusan Menristekdikti selaku atasannya berupa administrasi, Keputusan hukum pidana (apabila pemilik jurnal melakukan upaya hukum pidana) dan ketiga adalah dari Zamrun sendiri yang mau mengundurkan diri karena kasus yang memalukan itu.
“Rektor itu jabatan tambahan saja. Menteri harusnya bersikap secara administrasi untuk mencabut status guru besarnya dan jabatan rektornya,” tekan Salimin.
Sebagai akademisi, harusnya gentle dan malu dengan adanya plagiat ini. Sebab, secara nyata, hasil penilaian Ombudsman, jurnal yang diplagiat oleh Zamrun sampai 70 persen.
“Bayangkan, biar abstraknya diplagiat. Ini sangat memalukan bagi dunia pendidikan kita,” timpal Aslan.
Dikonfirmasi tentang hal itu melalui pesan WhatsApp-nya, Rektor Universitas Halu Oleo (UHO) Prof Muhammad Zamrun Firihu, sempat membaca dan membalas pesan yang dikirimkan jurnalis media ini. Namun, belum sempat dibaca, pesan balasan dari Prof Zamrun sudah dihapusnya terlebih dahulu.(admin)
Sumber: Inilahsultra