PASARWAJO, Rubriksultra.com – Sidang lanjutan perkara ITE dengan terdakwa Moh Sadli kembali digelar di Pengadilan Negeri Pasarwajo, Selasa kemarin (3/3). Sidang lanjutan ini beragendakan pemeriksaan Saksi ahli bahasa Indonesia yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Sidang perkara yang dilaporkan Bupati Buton Tengah, Samahuddin ini digelar sekitar pukul 15.10 Wita. Sidang ini dipimpin majelis hakim yang diketuai, Subai, SH MH didampingi hakim anggota masing-masing, Basrin, SH dan Mahmid, SH. Sementara, saksi ahli bahasa yang diajukan JPU yakni, Jamaluddin, penyuluh bahasa dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Dihadapan majelis hakim, saksi ahli menjelaskan, terdapat kalimat yang bermuatan negatif dalam tulisan yang dimuat terdakwa. Salah satunya terlihat pada paragraf tiga yang tertulis drama simsalabin struktural, di dalam KUA-PPAS, pada tahun 2018 lalu, kawasan simpang lima Labungkari, anggarannya ditetapkan Rp 4 miliar, namun dalam pelaksanaannya disulap simsalabin menjadi Rp 6,8 miliar. Buton Tengah hebat tinggal abrakadabra langsung jadi.
“Dalam kalimat itu saya simpulkan pemerintah daerah dituduh telah menyulap anggaran yang semula Rp 4 miliar menjadi Rp 6 miliar lebih,” beber Jamaluddin.
Dikatakan dalam kamus bahasa Indonesia, menyulap memiliki empat makna diantaranya sulap (sebagai kata dasar) berarti mengubah rupa barang dan sebagainya dengan cara yang ajaib, bermain sulap. Arti yang kedua, menyulap adalah mengubah sesuatu dengan cepat. Selanjutnya arti yang ketiga, menyulap adalah menggelapkan (uang, barang, dan sebagainya). Dan arti ke empat menyulap adalah memalsukan.
“Dalam bahasa Indonesia, arti sulap itu ada empat maknanya. Dua bermakna positif dan dua bermakna negatif. Tergantung konteks kalimatnya,” ujarnya saat ditanya majelis hakim tentang makna kalimat negatif dalam kata sulap.
Menurut Ahli, yang menjadi obyek dalam tulisan yang termuat berdasarkan hasil screenshot dengan makna yang negatif mengarah kepada Pemkab Buton Tengah dan orang nomor satu di Buton Tengah.
“Sesuai yang termuat dalam paragraf kedua disini ditulis, dalam perjalanannya proyek tersebut menghabiskan uang negara kurang lebih Rp 6 miliar. Olehnya itu tidak heran jika orang nomor satu di Kabupaten Buton Tengah, Samahuddin rela berlama-lama di lokasi itu. Bahkan di lokasi itu dijadikan kantor sementara, menyaksikan dari awal proses pembongkaran dari pagi sampai petang,” ungkapnya.
Selain kalimat tersebut, Ahli juga menyebut pada paragraf ke empat dalam tulisan terdakwa juga terdapat kalimat yang bermuatan negatif. “Dalam tulisan tersebut, penulis menuduh Pemkab Buton Tengah tidak melakukan perencanaan yang matang terkait penggunaan uang miliaran rupiah,” tambahnya.
Ahli berpendapat dalam tulisan yang dimuat penulis, dari awal sampai akhir lebih banyak menuduh Pemkab Buton Tengah dan pemimpin Buton Tengah. Hal itu juga terlihat pula pada tulisan yang termuat pada paragraf sembilan dan ke tujuh.
“Disitu tertulis, masyarakat saat ini belum mengapresiasi pemerintah Buton Tengah dengan prestasinya dilini pengelolaan keuangan sebab keberhasilan dilini ini marak dibuat topeng karena tidak dilepaskan dari abrakadabra birokrasi dan struktur elit, seketika disulap langsung jadi,” ujar saksi ahli membacakan screnshot tulisan yang dipegangnya.
Di tempat terpisah, Kuasa Hukum Sadli, La Ode Abdul Faris menilai saksi ahli bahasa dari JPU yang menyatakan karya tulisan Sadli memenuhi unsur pencemaran tidak berdasar. Faris juga mengklaim kliennya masuk katagori pers. Sehingga untuk menentukan kualitas suatu karya yang ditulis Sadli adalah rana dewan pers.
“Karena jelas dalam kesaksian oleh ahli ketika ditanyakan apakah isi dalam leptop itu masuk dalam kalimat apa?, ahli menganggap bahwa itu kalimat berita,” kata La Ode Abdul Faris saat dihubungi via telepon selelurnya, Rabu 4 Maret 2020.
La Ode Abdul Faris menjelaskan, untuk mendudukkan permasalahan yang dialami kliennya apakah masuk pencemaran nama baik atau perbuatan pidana umum maka bukan ahli bahasa yang menilai hal itu. Tapi seharusnya adalah Dewan Pers sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 13 Tahun 2008.
“Disitu jelas mengatur tentang jurnalistik, UU Pers ataupun ITE yang ada kaitannya jurnalistik maka kedudukannya adalah Dewan Pers,” katanya.
Ia juga menilai bila ditilik dari sisi kualifikasi ahli bahasa yang didatangkan bukanlah sebagai ahli. Karena secara kualifikasi keilmuannya, saksi yang didatangkan masih menerangkan berdasarkan sumber dari Google atau browsing dan menggunakan petunjuk dari pengamat ataupun dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
“Dia tidak melahirkan kajian atas pendapat pribadinya. Secara kajian hukum acara, seharusnya ahli itu menerangkan sesuai dengan ahli kekhususannya. Jadi dalam penerapan konsep hukum, saksi ahli tidak boleh berpedoman kepada yang lain tetapi harusnya pada kualitas keilmuannya,” katanya.
Ia meyakini bila kasus yang dialami kliennya adalah kasus pers. Sehingga untuk menentukan konteks pencemaran nama baik atau perbuatan pidana itu adalah dewan pers.
La Ode Abdul Faris juga mengklaim Liputanpersada.com sebagai saluran media yang digunakan kliennya untuk menulis memiliki legalitas perusahaan yang bergerak di bidang pers.
“Kalau terkait bukti badan hukum Liputanpersada ada bukti fisiknya kami pegang. Dia bergerak dalam media, namanya PT Global Media Nusantara,” katanya.
Saat ditanya mengenai sikap PT Global Media Nusantara mengenai perlindungan hukum terhadap salah satu karyawannya yang tersandung hukum, Faris mengakui belum membangun koordinasi dengan manajemen PT Global Media Nusantara.
“Bukti legalitasnya kami dapat dari instansi terkait. Kalau hari ini memang kami belum sempat bertemu dengan pimpinannya. Tapi dalam waktu dekat kita upayakan untuk bertemu langsung,” katanya.
Bukti legalitas perusahaan pers ini diakui akan diajukan dalam proses sidang berikutnya. Insya Allah, kata dia, pada agenda pemeriksaan saksi terdakwa.
“Hanya perlu dipahami bahwa bukti ini dalam posisi rahasia, nanti kami akan buka. Ini bukan dalam rangka meringankan klien kami, karena kalau bicara meringankan berarti pembuktian tidak bersalah khan. Kita mencoba buktikan kapasitas klien kami sebagai wartawan. Sebab kalau wartawan maka kita bicara hasil karya jurnalistiknya. Baru kita bicara perusahaan,” katanya.
Olehnya, sesuai dengan patokan pelaksanaan MoU Dewan Pers dan Kapolri dalam hal untuk menentukan kaidah jurnalistik adalah Dewan Pers bukan ahli bahasa.
“Sesuai dengan arahan majelis hakim maka dihadirkan dulu saksi dari dewan pers. Kemudian kami akan mengajukan saksi yang meringankan sekaligus dengan saksi ahli kami,” katanya.
Kilas balik, alasan Sadli dipolisikan dibeberkan Pemkab Buteng diwakili Kabag Humas dan Protokoler Setda Buteng, Sarifudin Fanta saat konferensi pers di kantor Bupati Buteng, Selasa 11 Februari 2020 lalu.
Sarifudin Fanta menjelaskan, perkara ini bermula dari postingan sebuah tulisan pada website bernama Liputanpersada.com. Tulisan itu berjudul “Abdakadabra: Simpang Lima Disulap Jadi Simpang Empat” yang diterbitkan tanggal 10 Juli 2019 yang ditulis Moh. Sadli Saleh.
Atas tulisan ini, Pemkab Buteng merasa terganggu dan terfitnah karena tulisan tidak memiliki dasar. Tulisan tersebut bahkan sampai terbaca dan meresahkan masyarakat dan pemerintah setempat.
Kata dia, Pemkab Buteng lalu menanggapi tulisan ini dengan beberapa kali melakukan upaya klarifikasi terhadap tudingan dan fitnah tersebut langsung kepada penulis Liputanpersada.com. Namun yang bersangkutan enggan memberikan hak klarifikasi.
“Sehingga Pemkab Buteng berupaya melakukan klarifikasi melalui media lainnya oleh Dinas PUPR, Bappeda dan BPKAD Buteng selaku pihak yang mengetahui persis persoalan tersebut. Baik dari sisi anggaran maupun pekerjaan,” katanya.
Bahkan, kata dia, Anggota DPRD Buteng yang juga selaku Anggota Banggar, yakni Tasman dan La Goapu turut memberikan klarifikasi mengenai masalah yang ada. Namun yang bersangkutan tidak pernah datang melakukan klarifikasi.
Pemkab Buteng juga melakukan langkah lain. Langkah persuasif dan pendekatan secara kekeluargaan juga ditempuh melalui keluarga yang bersangkutan yakni Adam yang saat itu menjabat Ketua DPRD Buteng.
“Namun maksud baik bupati untuk memperjelas dan mengklarifikasi tulisan ini, yang bersangkutan tetap menolak,” katanya.
Tidak cukup dengan itu, Bupati Buteng, H. Samahuddin juga tetap melakukan upaya yang sama melalui Drs H. Burhanuddin selaku tokoh masyarakat Lakudo yang juga menjabat Sekwan DPRD Buteng. Namun yang bersangkutan tetap bersikukuh menolak untuk bertemu Bupati buteng.
Sarifudin menjelaskan, pemuatan tulisan tersebut berjalan kurang lebih tiga bulan. Tulisan dimuat secara berulang-ulang di media sosial bahkan setiap saat memposting dan mengirim secara berulang di grup WA.
“Karena sudah dianggap berlebihan maka Pemkab Buteng melalui Bagian Hukum Setda Buteng melaporkan konten tulisan pada website Liputanpersada.com hasil tulisan Moh.Sadli Saleh ke pihak yang berwajib dalam hal ini Polres Baubau,” katanya. (adm)