KENDARI, Rubriksultra.com- Gubernur Sultra, Ali Mazi ikut menanggapi gelombang penolakan pengesahan UU Ciptaker yang hampir terjadi di seluruh Indonesia, tak terkecuali di Sultra. Ali Mazi dengan bijaksana mengajak seluruh elemen agar menyampaikan pendapat dengan santun dan berwibawa.
Menurut Ali Mazi, demontrasi atau gelar pendapat adalah bentuk lain dari penerapan demokrasi, khususnya Demokrasi Pancasila. Konstitusi negara tidak melarang demonstrasi terkait apapun, termasuk gelar pendapat menolak kebijakan pemerintah atau suatu perundangan.
“Kebebasan berpendapat diatur dengan sangat jelas pada UUD 1945,” tutur Ali Mazi melalui Jubir Ilham Q Moehiddin, Kamis 8 Oktober 2020.
Walau demikian, orang nomor satu di Sultra ini menitip pesan agar gelar pendapat tetap dilakukan dengan santun dan berwibawa. Dengan begitu, pesan demokrasi dan kesan intelektualitas yang melekat pada diri mahasiswa tetap terjaga dengan baik.
Dikatakan, disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja memang memicu reaksi dari elemen buruh dan mahasiswa. Bahkan sebelum Rancangan Undang-Undang (RUU) tersebut disahkan DPR, wacana tidak berimbang telah berhembus di tengah masyarakat melalui beragam kanal media sosial.
Beberapa pihak berusaha mendudukkan masalah yang sesungguhnya sedang direspon RUU tersebut, juga sejumlah pihak yang melayangkan kontra argumentasi terkait subyek yang sama.
Ali Mazi berpendapat, perdebatan seperti itu juga bagian dari demokrasi dan perilaku akademik. Hal ini dinilai sebagai sesuatu yang positif sekali tapi sebaiknya semua pihak melakukannya dengan santun dan berwibawa.
Ditambahkan, Rancangan Undang-Undang itu sesungguhnya belum final. Masih ada waktu 30 hari bagi Presiden untuk menandatangani draft rancangan perundangan yang telah disetujui bersama DPR itu.
Namun dalam pengundangannya, waktu 30 hari itu hanyalah tengat resmi bagi Presiden untuk memberikan persetujuannya, sebab ditandatangani atau tidak, RUU tersebut tetap disahkan menjadi UU dan wajib diundangkan. Demikian amanat konstitusi Pasal 73 (Ayat 2) UU 12/2011.
“Suatu Undang-Undang yang sudah disahkan dapat berlaku mengikat umum apabila diundangkan dalam suatu lembaran negara. Jadi, publik tidak perlu menanggapi dengan reaksi berlebihan terkait pengesahan RUU itu oleh DPR,” katanya.
Kata dia, bentuk uji materi perundangan dapat dilihat dalam beragam bentuk. Resminya, uji materi suatu perundangan melalui Mahkamah Konstitusi, tetapi secara umum materi dalam perundangan itu sudah mulai teruji sejak diusulkan oleh Presiden dan kemudian disahkan oleh DPR.
“Termasuk melihat reaksi publik, menolak atau menerima suatu draft perundangan, adalah ragam alat ukur lain terkait materi perundangannya. Jadi, demonstrasi itu juga bisa dijadikan alat ukur terhadap materinya,” katanya.
Ali Mazi berpesan agar demonstrasi yang dilakukan tetap menjunjung tinggi cara-cara santun dan berwibawa dalam kebebasan menyuarakan pendapat, sehingga tidak mengulang kejadian seperti dalam demonstrasi penolakan RUU-KUHP dan UU-KPK pada September 2019 lalu.
“Mohon bersabar. Kita semua belum akan tahu bagaimana aplikasi dan implikasi perudangan ini sebelum disosialisasikan atau diuji secara empirik. Apakah akan memberi manfaat atau tidak untuk kepentingan rakyat. Secara hakiki, perundangan tidak bersifat absolut dan selalu berpeluang direvisi agar menjadi ideal,” tandasnya. (adm)