Mahkamah Agung Pulihkan Gelar Doktor Nur Alam

H. Nur Alam

KENDARI, Rubriksultra.com- Mahkamah Agung (MA) memulihkan gelar Doktor mantan Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra), Nur Alam dalam kasus dugaan plagiat. Gelar tersebut diperoleh Nur Alam di Universitas Negeri Jakarta (UNJ.

Kasus tersebut bermula saat Rektor UNJ mencabut gelar doktor Nur Alam. Pencabutan itu tertuang dalam Keputusan Rektor Universitas Negeri Jakarta Nomor: 920/UN39/PK.05/2019 tentang Pencabutan Gelar Doktor dan Ijazah atas nama Nur Alam tertanggal 18 September 2019.

- Advertisement -

Atas hal itu, Nur Alam tidak terima dan melayangkan gugatan ke PTUN Jakarta. Majelis PTUN Jakarta dalam keputusannya mengabulkan permohonan Nur Alam dengan mencabut Keputusan Rektor Universitas Negeri Jakarta Nomor 920/UN39/PK.05/2019 tersebut.

Namun, keputusan PTUN Jakarta itu ternyata dibatalkan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Jakarta. Gelar doktor Nur Alam pun dicabut.

Keputusan ini tak diterima Nur Alam dan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

MA dalam keputusannya membatalkan Keputusan Rektor Universitas Negeri Jakarta Nomor 920/UN39/PK.05/2019 tentang Pencabutan Gelar Doktor dan Ijazah atas Nama Nur Alam tertanggal 18 September 2019.

“Mewajibkan Tergugat untuk mencabut Keputusan Rektor Universitas Negeri Jakarta Nomor 920/UN39/PK.05/2019 tentang Pencabutan Gelar Doktor dan Ijazah atas Nama Nur Alam tertanggal 18 September 2019,” kata majelis kasasi sebagaimana dilansir website MA, Senin 15 November 2021.

Duduk sebagai ketua majelis Yulius dengan anggota Yosran dan Is Sudaryono. Apa alasan MA memulihkan gelar Doktor Nur Alam?, berikut ini alasannya:

Bahwa ketentuan Pasal 75 sampai dengan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan tidak mengatur secara eksplisit bagi masyarakat yang tidak menerima keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintahan “diharuskan” mengajukan upaya keberatan dan/atau banding administrasi, akan tetapi hanya diberikan kesempatan kepada masyarakat “dapat” mengajukan keberatan dan/atau banding administrasi.

Baca Juga :  Komunitas Baubau Coffee Enthusiast Bagikan Kopi Gratis di Kotamara

Dengan demikian kedudukan norma tersebut bukan sebagai suatu “kewajiban” yang harus dipatuhi, akan tetapi merupakan suatu ” hak” yang diberikan undang-undang kepada masyarakat yang implementasinya tentu bergantung pada kemauan dan kehendak masyarakat yang bersangkutan;

Pada hakikatnya jiwa Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah upaya untuk mengoptimalkan penyelesaian masalah secara internal oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan, akan tetapi normanya tidak memadai atau tidak lengkap, sehingga untuk mengisi kekosongannya, dalam rangka untuk memperkuat penerapannya oleh badan atau pejabat tata usaha negara di tataran eksekutif, dikeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Administrasi Pemerintahan Setelah Menempuh Upaya Administratif, Pasal 2 ayat (1) menyebutkan:

“Pengadilan berwenang menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa administrasi pemerintahan setelah menempuh upaya administratif”.

Ketentuan tersebut juga tidak menyatakan secara tegas dan eksplisit adanya “keharusan” pengajuan upaya administrasi sebelum pengajuan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

Oleh karena itu, hakim Tata Usaha Negara hendaklah bersikap arif dan bijaksana, dengan melihat secara objektif dan proporsional agar tidak menghilangkan hak gugat warga masyarakat sebagai hak asasi untuk memperjuangkan hak konstitusionalnya melalui pengadilan dalam bingkai negara hukum Pancasila, sebagaimana yang dijamin secara tegas oleh hukum dasar Negara Indonesia Pembukaan UUD 1945, Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945, Pasal 17 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP);

Bahwa pembatasan hak terhadap masyarakat untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara tidak sepadan disandingkan dengan pembatasan hak atau wewenang yang diberikan kepada badan atau pejabat tata usaha negara, karena keduanya memiliki kedudukan yang tidak seimbang. Warga masyarakat adalah sebagai pihak yang lebih lemah dibandingkan dengan kedudukan pejabat;

Baca Juga :  Ketua Hanura Baubau Laporkan Dugaan Penggelembungan Suara di 16 TPS

Bahwa Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 menyatakan: Keputusan dapat diajukan keberatan dalam waktu paling lama 21 hari kerja sejak diumumkannya Keputusan tersebut oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.

Ketentuan tersebut menyatakan kata “dapat”, bukan “harus”. Oleh karena itu, walaupun Pemohon Kasasi/Penggugat terlambat mengajukan upaya keberatan administrasi kepada Termohon Kasasi/Tergugat, akan tetapi hal itu tidak dapat menghilangkan hak gugat Pemohon Kasasi/Penggugat a quo, karena pada kenyataannya, upaya keberatan telah disampaikan, akan tetapi terlambat waktunya sebagaimana diatur Pasal 77 ayat (1) UUAP;

Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Pemohon Kasasi/Penggugat telah memenuhi syarat formal pengajuan gugatan a quo, sehingga harus dilanjutkan pada pertimbangan pokok perkara sebagaimana telah dipertimbangkan oleh Judex Facti Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta;

Bahwa penerbitan surat keputusan objek sengketa tidak didasarkan adanya usulan dari Senat, dan diterbitkan tidak atas dasar persandingan yang mengandung segi kekurangan yuridis, serta belum memberikan kesempatan kepada Pemohon Kasasi/Penggugat untuk membela diri atas dugaan melakukan plagiat, maka secara prosedur maupun substansi penerbitan keputusan objek sengketa melanggar Pasal 10 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi juncto Pasal 45 huruf a juncto Pasal 21 ayat (2) dan (3) Peraturan Menteri Riset, Teknologi, Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2018 tentang Statuta Universitas Negeri Jakarta juncto Pasal 46 ayat (1) huruf g dan ayat (2) Peraturan Rektor Universitas Negeri Jakarta Nomor 7 Tahun 2018 tentang Peraturan Akademik Universitas Negeri Jakarta sebagaimana telah dipertimbangkan oleh Judex Facti Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta

Siapakah Nur Alam? Berdasarkan putusan MA, Nur Alam divonis 12 tahun penjara dan denda Rp 750 juta subsider 8 bulan kurungan karena terbukti korupsi.

Baca Juga :  Raperda APBD-P 2022 Kota Baubau Siap Dibahas

Selain hukuman penjara dan denda, Nur Alam tetap dibebani uang pengganti Rp 2,7 miliar dan pencabutan hak politik 5 tahun. Jumlah uang pengganti dan pencabutan hak politik itu sama dengan putusan banding. (adm)

Facebook Comments