Ada Apa dengan Polemik Penunjukkan Pejabat Bupati di Sultra?

Sarfan Budiman

Oleh : Sarfan Budiman

Ada yang menarik di tengah momen pelaksanaan kegiatan HUT Provinsi Sulawesi Tenggara yang sementara berlangsung di Kota Baubau sejak tanggal 22 hingga 28 Mei di tahun 2022 ini. Pasalnya, di tengah pelaksanaannya terdapat pergantian beberapa pucuk pimpinan Kepala Daerah di Sultra, yakni proses pengangkatan Wakil Walikota Baubau menjadi Walikota definitif Kota Baubau dan penunjukkan Pejabat (Pj) Bupati untuk 3 daerah yakni Kabupaten Muna Barat, Kabupaten Buton Tengah dan Kabupaten Buton Selatan.

- Advertisement -

Untuk pergantian Walikota Baubau diakibatkan meninggal dunianya Walikota Baubau periode 2018-2023, mendiang A.S. Tamrin pada awal tahun ini, dan selanjutnya digantikan oleh wakilnya Laode Ahmad Monianse yang sebelumnya selama kurang lebih 4 bulan diamanahkan menjadi Pelaksana Tugas (Plt) Walikota Baubau, sekaligus diberi kepercayaan besar sebagai penanggung jawab selaku tuan rumah hari jadi Provinsi Sultra ke 58.

Berbeda halnya dengan pergantian pucuk pimpinan kepala daerah untuk Kabupaten Muna Barat, Buton Tengah dan Buton Selatan yang diakibatkan berakhirnya masa jabatan Bupati dan Wakil Bupati di 3 daerah otonom di Sultra tersebut. Seyogyanya, menjelang akhir bulan Mei ini proses penunjukkan Pj Bupati Muna Barat, Buton Tengah dan Buton Selatan telah rampung dan tinggal menunggu jadwal pelantikan yang telah ditentukan. Akan tetapi, hal itu tidak semulus apa yang diharapkan, karena terjadi pro dan kontra terhadap 2 figur Pj Bupati yang telah ditetapkan dan sudah mendapatkan SK dari Kemendagri.

Dari 3 Pejabat (Pj) Bupati pengganti di Sultra yang telah ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri berdasarkan surat keputusan yang dikeluarkan tanggal 21 Mei 2022, hanya Pj Bupati Buton Tengah yakni Muhammad Yusup yang aman dari polemik yang terjadi. Ia dan Laode Ahmad Monianse selaku Walikota Baubau definitif yang akhirnya dilantik oleh Gubernur Sulawesi Tenggara Ali Mazi di Aula Merah Putih Rujab Gubernur Sultra pada tanggal 23 Mei yang lalu.

Sedangkan 2 Pj Bupati yakni Dr. Bahri S.STP M.Si selaku Pj Bupati Muna Barat dan Laode Budiman selaku Pj Bupati Buton Selatan batal dilantik di hari yang sama. Dr. Bahri adalah tidak lain adalah Direktur Perencanaan Bina Keuangan Daerah di Kemendagri, sedangkan Laode Budiman adalah Sekretaris Daerah Kabupaten Buton Selatan yang belum lama ditetapkan.

Akibatnya, gonjang ganjing batalnya pelantikan 2 Pj Bupati ini menimbulkan polemik, bukan saja di tataran birokrasi pemerintahan Provinsi Sultra dan pemerintahan daerah di 2 daerah yang mengalami transisi kepemimpinan kepala daerah tersebut. Akan tetapi, lebih berdampak pada konsumsi publik Sultra yang semakin meluas. Wajar publik Sultra bertanya-tanya, Ada Apa dengan Polemik Penunjukkan Pejabat Bupati Sultra di Tahun 2022 ini..?

Baca Juga :  Sang Pejuang Mimpi

Jika ditelusuri tertundanya pelantikan 2 Pj Bupati tersebut, di karenakan adanya keberatan atau penolakkan dari Gubernur Sultra Ali Mazi terhadap penetapan 2 figur Pj Bupati tersebut. Hal itu nampaknya tidak berlebihan, mengingat kedua nama Pj Bupati Muna Barat dan Buton Selatan yang telah ditetapkan Kemendagri itu, adalah tidak melalui proses pengusulan sebelumnya oleh Gubernur Sultra.

Akan tetapi, baik Dr Bahri maupun Laode Budiman adalah murni hasil usulan Kemendagri sendiri. Tak pelak, hal ini membuat Ali Mazi sedikit merasa kecewa dan menganggap nama-nama calon Pj hasil seleksi Tim Pemprov dan usulannya diabaikan begitu saja oleh Kemendagri.

Jika dilihat dari akar masalahnya, menurut pengamatan penulis, sangat wajar jika Gubernur Ali Mazi batal melantik keduanya untuk sementara waktu. Atau dengan kata halusnya, menunda proses pelantikan kedua Pj tersebut, sembari melakukan klarifikasi langsung ke Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian. Mengapa hal ini perlu dilakukan oleh Gubernur ?

Pertama, hal ini menyangkut kredibilitas Ali Mazi selaku Gubernur Provinsi Sulawesi Tenggara sekaligus wakil pemerintah pusat di daerah sesuai yang diamanahkan pada pasal 91 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Artinya, Gubernur secara jelas diberikan wewenang untuk mengatur, mengawasi dan menyelaraskan pemerintahan di daerah meliputi pemerintahan provinsi dan pemerintahan Kabupaten/Kota yang ada di dalamnya.

Salah satu diantaranya melantik Bupati/Walikota sesuai pasal 91 ayat (4). Termasuk di dalamnya melantik Pj Bupati/Walikota diakibatkan kekosongan kepemimpinan daerah akibat masa jabatan Bupati /Walikota yang sudah berakhir sebelum Pemilukada 2024, seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah.

Untuk kasus penunjukkan Pj Bupati di Sultra ini, maka sepatutnya harus berdasarkan proses pengusulan 3 nama calon Pj oleh Gubernur yang selanjutnya akan dipilih dan ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri. Akan tetapi, anehnya Kemendagri langsung menetapkan nama Pj yang di luar nama-nama usulan Gubernur sendiri.

Hal inilah yang menurut pengamatan penulis, bahwa Ali Mazi merasa perlu mendapatkan penjelasan langsung oleh Kemendagri terkait masalah diatas.

Kedua, Kepercayaan Publik. Tentunya kepercayaan publik kepada seorang Ali Mazi memang akan dipertaruhkan terkait kewenangannya ini. Mengapa demikian ? Karena ada kekhawatiran, jika Kemendagri mengabaikan usulan nama-nama calon Pj Bupati yang diusulkan oleh Gubernur, maka Publik akan beragapan bahwa nama-nama calon Pj Bupati usulan Gubernur tersebut, kurang mampu atau kurang layak untuk menduduki kursi kepemimpinan daerah selaku Pj Bupati.

Baca Juga :  Pemprov Sultra, Tidak Ada Alasan? Cabut IUP di Konkep

Padahal, jika mau dirunut pada proses pengusulan Pj Bupati oleh Pemprov Sultra, maka hal itu sudah bisa dipastikan telah melewati tahapan seleksi yang cukup ketat oleh Tim Pemprov dan Gubernur dalam hal ini. Bahkan, nama-nama yang telah diusulkan sebelumnya, semua telah memenuhi syarat kepangkatan sebagai calon Pj Bupati yakni berasal dari pejabat Pimpinan Tinggi Pratama Lingkup Pemprov Sultra atau minimal berpangkat Eselon II.

Bahkan, dari informasi yang sempat beredar, sejak beberapa waktu lalu Pemprov Sultra sudah menyeleksi kurang lebih 50 pejabat pimpinan tinggi pratama lingkup Pemprov dan daerah sehingga mengkerucut pada 3 nama calon Pj Bupati untuk masing-masing kabupaten yang mengalami kekosongan kepemimpinan daerah di Sultra. Untuk itu, Sangat wajar bila Gubernur Sultra, merasa keberatan akan hasil penetapan sepihak oleh Kemendagri, yang seolah-olah mengabaikan kerja-kerja Gubernur terkait pengusulan Pj Bupati saat ini.

Langkah yang diambil Ali Mazi yang menunda pelantikan 2 Pj Bupati dan merasa perlu mendapatkan klarifikasi langsung ke Mendagri terkait hal ini, perlu kita apresiasi bersama. Hal ini penting, karena merupakan tanggung jawab besar Gubernur Sultra selaku wakil pemerintah pusat yang paham betul akan kebutuhan kepemimpinan daerah dan dinamika masyarakat Sultra khususnya di 2 daerah kabupaten yang sementara mengalami kekosongan Kepala Daerah.

Kenapa demikian ? Karena bisa jadi proses penunjukkan Pj Bupati, bukan saja di Sultra bahkan di seluruh Indonesia oleh Kemendagri, bukan tanpa ada masalah atau kekeliruan dalam proses penetapannya. Toh, buka saja Gubernur Sultra orang yang pertama yang mengambil langkah menolak sementara waktu untuk melantik Pj Bupati di daerahnya yang telah ditetapkan oleh Mendagri.

Sebelumnnya, langkah ini sudah dilakukan oleh Gubernur Provinsi Maluku Utara Abdul Gani Kasuba yang menolak melantik Pj Bupati di daerahnya di Kabupaten Pulau Morotai 17 Mei yang lalu, diakibatkan bukan merupakan usulan Gubernur.

Hal ini terjadi karena masih ada ruang perdebatan tentang regulasi yang jelas mengenai mekanisme pengisian Pejabat Kepala Daerah yang sudah berakhir masa jabatannya sebelum dilangsungkannya Pemilukada serentak di tahun 2024 nanti. Jika kita merujuk Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah terkait pengangkatan Pejabat Bupati/Walikota, hanya mengisyaratkan bahwa Pejabat (Pj) Bupati diusulkan maksimal 3 nama oleh Gubernur, yang selanjutnya akan dipilih salah satunya oleh Mendagri dan Tim Penilai Akhir (TPA) Kemendagri untuk selanjutnya ditetapkan dengan Surat Keputusan (SK) sebagai Pejabat Bupati.

Baca Juga :  Duel Calon Pemimpin Buton Tengah

Artinya, penujukkan langsung Pj Bupati oleh Mendagri tanpa memperhatikan nama-nama usulan dari seorang Gubernur dalam hal ini, masih multi tafsir dan masih dianggap lemah. Hal ini dikarenakan belum adanya produk hukum turunan yang mengatur secara jelas mengenai pengangkatan Pj Bupati di daerah, bisa atau boleh tanpa usulan Gubernur walaupun eksekutor penetapan akhirnya ada di SK Mendagri.

Hal ini penting untuk dikritisi sehingga diharapkan nantinya ada aturan main yang jelas mengenai pengangkatan Pejabat daerah yang tidak melanggar aturan UU yang ada diatasnya.
Lebih jauh lagi, hal ini perlu memperhatikan asas kenetralan Kemendagri agar jauh dari titipan kepentingan politik segelintir pihak.

Patut kita ilhami bahwasanya, proses pengangkatan Pj Bupati yang dilakukan sejak tahun 2022 hingga awal tahun 2024 nanti, bukan saja berkutat pada proses administrasi semata bahwa siapa bakal calon yang dapat memenuhi syarat administrasi untuk mengisi kekosongan Pejabat (Pj) Kepala Daerah, akan tetapi tidak akan terlepas dari proses politik yang menyertainya, terlebih bila ingin dikaitkan dengan kepentingan politik 2024 nantinya.

Selain itu, yang tak kalah pentingnya prosesnya pengangkatan Pj Bupati di daerah seyogyanya dilakukan secara demokratis dengan tetap memperhatikan rekam jejak masing-masing calon Pj yang diusulkan sehingga lebih transparan pada publik di daerah.

Namun demikian, hal ini bukan berarti nama yang ditetapkan oleh Kemendagri bukan figur yang tidak layak pula. Mungkin saja, ada kemungkinan pertimbangan lain yang diambil oleh Kemendagri terkait Pj di daerah yang sudah ditetapkan. Apapun itu, polemik akan hal ini sudah terlanjur bergulir dan khusunya untuk publik Sultra menginginkan polemik penunjukkan Pj Bupati Muna Barat dan Buton Selatan yang masih tertunda prosesnya, jauh dari syarat kepentingan politik pragmatis dan tetap mengacu pada prosedur yang benar dan baik. Semoga. (***)

Penulis adalah Pengamat Politik / Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Publik Sultra

Facebook Comments