BATAUGA, Rubriksultra.com – Dugaan pembuatan ijazah palsu milik Plt Bupati Buton Selatan (Busel) yang dihentikan penyidikannya oleh Polres Mimika menjadi citra buruk bagi dunia pendidikan. Kondisi ini membuat para guru di SMPN Banti dan pemerhati pendidikan di Kabupaten Mimika kecewa.
Hal itu diungkapkan oleh bakal calon Bupati Buton Selatan tahun 2017, La Ode Budi kepada sejumlah awak media, Minggu 3 Juni 2018. Keprihatinan ini, kata La Ode Budi, ditindaklanjuti dengan melaporkan tindakan SP3 penyidik Polres Mimika ke Propam Mabes Polri.
“Tindakan SP3 yang dilakukan penyidik terhadap kasus pembuatan ijazah La Ode Arusani dengan terlapor Reki Tafre (kepala sekolah) resmi dilaporkan Yohanes Fritz Aibekob pada 16 Mei lalu di Propam Mabes Polri,” ujarnya melalui sambungan telepon seluler.
La Ode Budi menilai pertimbangan SP3 yang dilakukan Polres Mimika sangat lemah. Pasalnya dalam SP3 hanya mempertimbangkan pernyataan Kepala Sekolah SMPN Banti, Tembagapura, Reki Tafre, bahwa pada 2005 pernah menandatangani ijazah tersebut.
Penyidik merujuk pada Pedoman Penulisan Ijazah dan Komputerisasi Blanko Surat Keterangan Hasil Ujian Nasional Tahun 2004/2005 mengatur bahwa yang berhak menandatangani ijazah adalah kepala sekolah atau kepala madrasah penyelenggara sesuai dengan kewenangannya, dengan demikian Reki Tafre berhak menandatangani ijazah tersebut.
Harusnya, lanjut La Ode Budi, penyidik ikut mempertimbangkan surat keterangan Kepsek SMPN Banti No 421.2/005/SMPNB/II/2017 diketahui oleh Kepala Dinas Pendidikan Dasar dan Kebudayaan (Kadispendasbud) Kabupaten Mimika tertanggal 20 Februari 2017 yang menyatakan bahwa Ujian Nasional pertama kali di SMPN Banti, tahun 2006.
Sementara pada ijazah La Ode Arusani bertahun 2005 dan tidak pernah terdaftar sebagai SMPN Banti. Hal ini sudah dibenarkan kewenangannya secara tertulis oleh Biro Hukum Kemendikbud RI, surat No 17868/A.4/HK/2017 tertanggal 23 Maret 2017 kepada Pengacara Arifin SH.
Salah satu tokoh masyarakat di Buton Selatan ini berharap penegak hukum dapat menuntasan kasus tersebut bukan karena ingin menyulitkan seseorang, tapi demi penegakkan hukum. Hukum yang tegak adalah pondasi akan adanya masa depan daerah.
“Membangun sumber daya manusia membutuhkan kerja keras murid, guru dan lingkungan pendidikan. Semangat itu pasti runtuh, ketika mereka tahu ternyata ijazah bisa dibuat saja,” ungkap La Ode Budi. (war)