Oleh : La Ode Budi
SAAT Daerah Otonomi Baru (DOB) berdiri, tidak tersedia banyak modal bagi Pemerintah Daerah untuk mengembangkannya. Umumnya ”hampir semua aspek masih jadi masalah”. Kesehatan bayi dan ibu, mutu pendidikan, banyak generasi terdidik (bahkan sarjana) yang tidak mandiri secara ekonomi, mata pencaharian masyarakat yang masih seperti “zaman dulu”, infrastruktur dasar yang rusak terus dan kapasitas birokrasi.
Secara umum, lewat otonomi daerah, diharapkan akan lahir kemampuan daerah untuk mengarahkan nasibnya ke arah kemajuan dan keunggulan. Keinginan itu, secara umum, adalah ibu hamil dan bayi-bayi terlahir sehat, mutu pendidikan yang setara dengan standar, generasi muda yang terarah pikiran, memiliki kompetensi nilai tambah dan semangat membangun kemandirian ekonomi, ekonomi rakyat bergerak dan infrastruktur yang baik untuk menunjang gerak kehidupan masyarakat.
Harapan di atas, tentu tidak akan dicapai dalam waktu satu tahun, bahkan satu periode Kepala Daerah. Tapi perintisannya harus dipondasikan sejak awal, detik pertama Pemda efektif beroperasi.
Namanya juga kita ada di situasi “tertinggal”. Berbeda dengan daerah yang sudah maju, dimana ada peran swasta ikut mendorong kemajuan daerah, intelektual dan peran masyarakat ada, maka DOB masih terbatas hanya pada dua modal utamanya, yaitu APBD dan Birokrasi (Aparat Sipil Negara).
Dua modal ini akan termanfaatkan baik, jika ada strategi yang kuat dan tahapan yang jelas mencapai semua cita-cita otonomi tersebut. Yang pasti ada beberapa hal yang tidak bisa ditawar, yaitu kebutuhan lahirnya generasi baru terdidik baik.
SDM masa depan daerah. Semua orang tua bersedia susah, agar ada jalan bagi anaknya mencapai derajat kehidupan yang baik kelak. Begitu juga daerah, tugas generasi saat ini adalah melahirkan dan mengawal lahirnya generasi baru yang terdidik baik, dan memiliki kompetensi yang membuatnya diterima di daerah manapun nantinya dia hidup. Saya menye-butnya GENERASI EMAS.
Sasaran kedua, adalah terkait dengan banyaknya anak muda yang berpendidikan baik, tapi tidak bisa mandiri secara ekonomi. Mereka tidak tahu apa yang harus dikerjakan. Masalahnya wawasan pengetahuan umum ada atau banyak, tapi keterampilan spesifik bernilai ekonomi tidak ada.
Keterampilan membuat produk atau jasa serta memasarkannya tidak dimiliki. Jelas ini perlu intervensi Pemerintah agar generasi produktif ini memang jadi produktif, tidak terus menjadi beban orang tuanya.
Sasaran ketiga, adalah sumber pendapatan masyarakat per sektor. Harus ada strategi agar mata pencaharian itu sejalan dengan kebutuhan daerah yang lebih luas, pulau Buton, tingkat propinsi, tingkat regional Indonesia Timur bahkan tingkat nasional atau ekspor.
Cara cepat menggerakan ekonomi rakyat, salah satunya adalah penciptakan pengolahan berbasis rumah tangga. Misal, bawang Lapandewa dikemas menjadi produk olahan siap pakai, dan dikemas dengan baik serta dibangun mereknya, hingga menjadi oleh-oleh Pulau Buton (misalnya). Merek “Bawang Lapandewa” demikian terkenal, sehingga dicari dipelosok regional Indonesia Timur (misalnya), bahkan terkenal sampai Jakarta.
Ini contoh saja. Per sektor harus dibedah. Misal, Pertanian harus mencari jenis tanaman yang punya nilai ekonomi tinggi. Perikanan harus bisa menyediakan ikan yang diperlukan nasional atau ekspor. Juga demikian dan sektor mata pencaharian lainnya. Jadi tidak hanya sporadis “membantu yang dikerjakan sekarang”, tapi mendorong mereka untuk menciptakan “cara baru atau produk” yang diperlukan secara regional, nasional atau ekspor.
Pemasarannya bisa dilakukan dengan membentuk BUMD yang membangun kerjasama dengan BUMN (menjadi pemasok), pasar nasional regional atau eksportir. Adanya internet memungkinkan pemasaran dilakukan secara nasional atau seluruh dunia. Asalkan mutu produk kuat, dan ada pembangunan merek dan dipromosikan dengan visi yang kuat, itu adalah peluang bagi siapa saja, bahkan daerah yang masih tertinggal sekalipun.
Khusus Buton, saya pernah mengikuti workshop Pariwisata. Ketika saya minta Buton dijadikan kasus, maka dikatakan Buton memiliki semua syarat untuk menjadi destinasi pariwisata nasional, yaitu keindahan alam, budaya, keraton yang memiliki sejarah 700 tahun berdiri dan tidak pernah dijajah serta situs untuk wisata religius.
Lengkapnya unsur wisata di Buton ini sayangnya tidak ada kapasitas untuk menjadikannya sebagai rencana dan dieksekusi bertahap secara sistimatis. Saya pribadi, yakin harusnya Buton bisa menjadi destinasi unggulan nasional ke sebelas (masak kalah sama Wakatobi yang hanya bertumpu pada kekayaan alam laut).
Sasaran keempat adalah infrastruktur untuk mencapai itu semua. Pusat pendidikan keterampilan, pembangunan pasar yang menarik dikunjungi, sekolah-sekolah yang guru dan peralatannya memadai, jalan, listrik, transportasi murah dan hal lain-lain yang dibutuhkan.
Mengetahui sasaran-sasaran yang akan diwujudkan itulah, APBD dirancang oleh Pemda. Tiap rupiah dibelanja dengan tepat jumlah dan sasaran dan selalu membawa dampak bagi kemajuan daerah. Konsep daerah ini sekaligus jadi “alat jualan” ke Pemerintah Pusat untuk mendapatkan dukungan.
Sangat baik, jika APBD perlu diperiksa dulu oleh tokoh-tokoh masyarakat melalui diskusi publik, sebelum dibawa ke DPRD. Apa yang akan dikerjakan, apa alasannya dan besarannya dibahas terbuka untuk dikritisi dan mendapat masukan. “Ini uang kita, rencananya juga milik kita.” Rasa memiliki rakyat terhadap rencana Pemda, muncul dari sana.
Integrasi APBD dengan dana desa adalah keharusan. Kan aneh ada desa bangun destinasi wisata, tapi orang tidak tahu, dan tidak ada dukungan Pemda untuk menarik orang untuk datang. Dan yang sudah datang juga kapok, karena jalannya jelek sekali.
Birokrasi/ASN adalah penggerak atau pelaksana semua cita-cita di atas. Karena itu kapasitasnya harus diperhatikan. Orang yang tepat dan mau cepat belajar, adalah prioritas utama. Konsep bagus, anggaran ada, eksekusinya buruk, juga tidak akan menghantarkan daerah ke tujuan. Semoga dapat menginspirasi. Kabarakatina tana wolio !!!
Jumat, 8 Juni 2018, Ada tiga anggota HMI dan Kohati Baubau berkunjung. Saya tidak bisa menolong terkait masalah mereka kepengurusan ganda. Saya memilih berbagi apa yang saya tahu terkait membangun daerah di atas, sebagai oleh-oleh. Tentu saja pengetahuan saya juga terbatas, tapi saya yakin tetap ada manfaatnya bagi mereka. Jeleknya, mereka pulang jadi gelisah, ha ha. (***)
Penulis : Tokoh Masyarakat Buton Selatan di Jakarta