Bolimo Karo Somanamo Lipu

Ir La Ode Budi

Penulis : Ir. La Ode Budi

Bolimo karo somanamo lipu.

- Advertisement -

Kalimat ini populer di Kepulauan Buton (Kepton) dan sering disebut orang tua saat memberikan nasehat kepada anaknya.

Kalau dari frasa, maka kalimat terdiri dari dua penggal, yaitu “Bolimo karo” dan “Somanamo lipu”. Penggal pertama tidak ada artinya jika tidak ada penggal kedua. Mirip Laa Ilaaha Ilallah.

“Bolimo karo” mengandung arti pengabaian kepentingan diri dan hanya fokus kepada yang ditinggikan (Oleh diri). Dengan demikian mengandung maksud untuk fokus, konsentrasi, berikan yang terbaik (Kepada sesuatu tersebut).

Dalam managemen modern, sesuatu itu adalah customer/pelanggan. Karena itu biasa disebut dengan “service excellent, customer centre service dan customer satisfaction,” atau pelayanan sempurna. Fokus pada customer atau utamakan kepuasan customer/pelanggan. Ini adalah doktrin yang harus dipegang oleh semua pegawai, dari atas sampai terbawah.

Dalam konteks “Somanamo lipu”, maka yang diutamakan adalah Lipu (Daerah kelahiran). Kerahkanlah seluruh kecerdasan, tenaga dan pikiran untuk memajukan lipu (Tanah Kesultanan Buton untuk konteks saat itu).

Pesan tersirat lainnya, dalam fokus memberi, secara kesadaran “Tidak terpikir untuk mengambil bukan hak kita”. Karena mengambil hak orang, artinya tidak lagi fokus memberi (Seperti syirik dalam tauhid).

Kenapa “Bolimo karo somanamo lipu” ini tidak banyak dibicarakan lagi? Semata, menurut saya, orang takut tidak akan menerima apapun lagi untuk dirinya kalau dijadikan doktrin. Diri tidak akan mendapat apa-apa (Semua sudah diberikan). Benarkah demikian?

Kita kembali ke managemen modern, benarkan perusahaan atau pegawai terbaik dalam memberikan pelayanan tidak dapat apa-apa?.

Justru sebaliknya, perusahaan yang memberikan terbaik adalah perusahaan yang akan dipilih oleh masyarakat. Perusahaan itu mendapatkan pemasukan paling banyak, produknya akan paling banyak dicari. Paling untung.

Baca Juga :  Gerindra dan Puing-puing Koalisi Opisisi

Dalam konteks karyawan, maka dialah yang akan pertama kali mendapatkan manfaat (Bonus, hadiah, reward) atas kemajuan perusahaan.

Jadi “Bolimo karo somanamo lipu” adalah sikap (Attitude) prestatif.

Terus, pada keadaan apa “Bolimo karo somanamo lipu” ini tidak berdampak?.

Jawabannya, adalah ketika “Merit system” (Berprestasi didahulukan) tidak berlaku. Keadaan kejujuran tidak berharga. Yang malas, asal bisa jilat naik pangkat. Yang kinerja tidak ada tetap terhormat, karena setorannya banyak.

Keadaan ini tercipta oleh proses politik yang buruk (Hanya prosedural), tidak subtantif (Jujur, adil, semua berpegang pada janji).

Jadi kita tahu sekarang, betapa budaya politik yang “Uanglah yang bicara” tidak akan pernah memajukan negeri.

Kenapa?, Karena sumber tenaga utama manusia yaitu semangat dan kerjasama dirampas (Oleh budaya itu). Itulah kenapa dulu orang tua kita “Keras dalam sumpah”, agar ada kepastian yang menjadi pemimpin akan melaksanakan keadilan dan semata kepentingan rakyat.

Itulah acuan harapan kita kenapa kearifan lokal “Sumpah adat” bagi para calon pemimpin perlu mendampingi proses pemilu kita (Minimal di kepton).

Tapi pada keadaan dan situasi yang buruk tersebut, apakah kita tetap bisa menjalankan “Bolimo karo somanamo lipu”?

Tetap bisa. Sekiranya kita imani semua perbuatan baik, itu ada balasannya (Walaupun tidak saat ini, walaupun tidak selalu berupa uang atau jabatan, walaupun diterima oleh anak cucu).

Berbuat baik itu sendiri saja sudah merupakan hadiah terbaik bagi kita (Sebagai ibadah kepada Allah SWT).

Keyakinan ini, menjadikan kita tetap menjalankan sikap “Bolimo karo somanamo lipu”, apapun keadaannya.

Didorong sifat volunteer (Suka rela) untuk berkarya nyata tanpa harapkan imbalan, adalah sumber energi kesuksesan terbesar manusia.

“Bolimo karo somanamo lipu” ditulis besar di Pelabuhan Murhum, tidak lain agar yang pergi selalu ingat. Ingat bahwa Inilah sifat dasar kita sebagai orang Buton.

Baca Juga :  Buton Bisa Selamatkan Demokrasi Indonesia

Para leluhur ingin, kita, anak cucunya dikenal sebagai orang yang tidak pernah ambil hak orang, dan dalam bekerja hasilkan maksimal, capaian terbaik, prestasi tertinggi yang mungkin (Berapapun gaji kita awalnya).

Bekal yang sangat berharga dari mancuana agar kita “Menjadi orang” di rantau. Dan juga di tana Wolio tentunya.

Tulisan di atas adalah pemaknaan subjektif. Semoga ada manfaatnya dan lanjut ditelaah. Terima kasih. (***)

Facebook Comments