Gerindra dan Puing-puing Koalisi Opisisi

Oleh : DEWI SATRI

SUATU hari di bulan November 2007, Fadli Zon dan Hashim Djojohadikusumo pergi bersama menuju Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Banten. Keduanya terlibat perbincangan yang isinya tidak jauh soal kondisi politik Indonesia pada waktu itu. Baik Fadli maupun Hashim berkesimpulan bahwa demokrasi Indonesia tengah dibajak oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan memiliki modal besar. Perbincangan itu pun bermuara keinginan Hashim untuk membuat partai baru.

- Advertisement -

Laman resmi Gerindra menyebutkan, sebulan kemudian, pada Desember 2007, Fadli Zon bersama Ahmad Muzani, M. Asrian Mirza, Amran Nasution, Halida Hatta, Tanya Alwi dan Haris Bobihoe membahas anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) partai baru tersebut di kantor IPS (Institute for Policy Studies), Jakarta.

Awalnya, partai baru itu bakal dinamakan Partai Indonesia Raya (Parindra). Namun, Hashim punya gagasan lain, yaitu menambahkan kata “Gerakan” sehingga partai ini dinamakan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).

Pada 6 Februari 2008, tepat 10 tahun lalu, Gerindra dideklarasikan secara resmi. Ketua Umum Gerindra dijabat Suhardi, guru besar Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada yang sempat mendirikan Partai Kemakmuran Tani dan Nelayan pada 2003.

Kini, salah satu sosok yang lekat betul dengan Gerindra adalah Prabowo Subianto (kakak kandung Hashim). Dia menjadi anggota Gerindra sejak 12 Juli 2008. Sebelumnya, Prabowo masih menjadi pembina partai Golkar. Prabowo kemudian menjabat Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra.

Lika Liku Gerindra

Pertengahan 2008, saat partai lainnya masih dalam tahap perencanaan kampanye, Gerindra sudah mulai membanjiri publik Indonesia dengan iklan-iklan di televisi. Ditahun yang sama pula, Prabowo mencalonkan diri sebagai Wakil Presiden mendampingi Megawati Soekarnoputri.

Keduanya didukung koalisi Gerindra dan PDI Perjuangan. Namun, pasangan mereka kalah dengan perolehan suara nasional sebesar 26,7 persen. Hasilnya kita tahu, SBY bersama Boediono tampil sebagai pemenang. PDI dan Gerindra pun menjadi oposisi pemerintah di parlemen.

Baca Juga :  Kabarakatina Tana Wolio

Ditinjau dari segi waktu, Gerindra didirikan setahun sebelum Pemilihan Umum (Pemilu) 2009. Waktu yang relatif singkat bagi partai baru untuk dapat mempromosikan gagasan dan tokoh partai. Namun, Gerindra mendapat 4.646.406 suara dalam pemilu tersebut, atau 4,46 persen total pemilih dan menjadikan Gerindra bercokol di peringkat ke-9 klasemen perolehan suara partai.

Lima tahun kemudian, tepatnya Agustus 2014, sebulan setelah perhitungan jumlah suara, Ketua Umum Suhardi meninggal pada Agustus 2014. Alhasil, Kongres Luar Biasa Gerindra menetapkan Prabowo Subianto sebagai Ketua Umum, merangkap jabatan sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra.

Ditahun ini pula, Gerindra kembali masuk ke gelanggang elektoral. Dalam Pileg 2014, Gerindra mendapat 14.760.371 suara (11,81 persen). Angka tersebut membuat Gerindra menduduki peringkat ke-3 partai dengan suara terbanyak.

Dengan modal itu, Prabowo kembali maju dalam Pilpres 2014. Bedanya, Prabowo kini mencalonkan diri menjadi presiden dengan didampingi politisi PAN, Hatta Rajasa. Keduanya didukung Koalisi Merah Putih yang terdiri dari partai Gerindra, PAN, PKS, Golkar, PPP, dan PBB.

Kali ini, Prabowo mesti berseberangan dengan Megawati, rekan elektoralnya pada 2009. Dalam Pilpres 2014, Prabowo-Hatta harus melawan Jokowi-Jusuf Kalla yang didukung Koalisi Indonesia Hebat yang terdiri dari partai PDI, Hanura, Nasdem, PKPI, dan PKB.

Namun, Prabowo lagi-lagi menelan pil pahit. Ia kalah dengan perolehan suara 46,85 persen. Sementara Jokowi melenggang sebagai presiden, Prabowo menjadikan KMP sebagai koalisi partai oposisi pemerintah Jokowi.

Koalisi yang Sepi

KMP sebagai koalisi permanen pada 8 Juli 201, sehari menjelang pemungutan suara, para partai pendukung Prabowo-Hatta tersebut mendeklarasikan koalisi permanen yang berjanji akan selalu bersama, satu suara dan satu sikap termasuk dalam menjalankan fungsi legislatif di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun, mimpi koalisi permanen itu urung terwujud. Satu per satu partai berpaling dari KMP.

Baca Juga :  Sampolawa dan Megalitik Tertua di Buton Selatan yang Belum Terungkap

Sekarang, PAN, PPP, dan Golkar adalah bagian dari koalisi partai pendukung pemerintah. Kader ketiga partai itu pun sekarang bercokol sebagai menteri di Kabinet Kerja bentukan Jokowi-JK, misalnya Menteri PAN-RB Asman Abnur (PAN), Menteri Agama Lukman Saifudin (PPP), Menteri Perindustrian Airlangga Hartanto (Golkar), dan Menteri Sosial Idrus Marham (Golkar).

PKS menunjukkan sikap lain. Pada Desember 2015, Ketua Umum PKS Sohibul Imam mengatakan PKS tetap berada di KMP. Sementara itu, pada Februari 2016, Sekjen Gerindra Ahmad Muzani mengatakan KMP bubar secara de facto.

Palagan Gerindra dan PKS

Sekarang hanya Gerindra dan PKS yang menjadi partai oposisi di parlemen. Itu terlihat dari kekompakan mereka menolak Rancangan Undang-undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) yang menetapkan presidential threshold sebesar 20 persen. Keduanya juga menolak Peraturan Pengganti Undang-undang Organisasi Masyarakat (Perppu Ormas). Lalu, Gerindra dan PKS menolak pembentukan panitia khusus (pansus) hak angket KPK.

Keduanya juga mesra mengusung Anies Baswedan dan Sandiaga Uno dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017. Hasilnya, paslon tersebut menang mengalahkan paslon Ahok-Djarot yang didukung PDIP.  Kemenangan itu disebut dapat mengantarkan Prabowo menuju kursi presiden di Pilpres 2019.(***)

Facebook Comments