Buton Bisa Selamatkan Demokrasi Indonesia

OLEH : LA ODE BUDI

Tidak ada habis-habisnya berita kepala daerah OTT ditangkap KPK, karena urusan suap. Kalau tidak karena uang dari fee proyek, ott dari jual beli jabatan strategis ASN (Aparatur Sipil Negara). Kadang juga Pimpinan Daerah yang baru saja ceramah integritas atau pentingnya birokrasi yang bersih, ketangkap juga. Ada apa ini ?

- Advertisement -

Sebenarnya kajian hal ini sudah sering dikemukakan. Tidak lain, adalah biaya Pilkada yang tinggi. Dan setelah terpilih, pengeluaran atas biaya tersebut “mengejar” sang Pejabat. Dan darimana bayarnya?

Tentu saja dari keuangan daerah (fee proyek fisik atau non fisik) atau setoran atas jabatan strategis di Pemda, dengan alasan “saya saja jadi kada tidak murah (biayanya)” atau kebijakan yang menguntungkan pihak lain tapi mengurangi hak daerah. Kalau ditambah lagi sifat serakah dari istri, anak, tim sukses, lengkap sudah. Tentu ini bukan artinya semua kepala daerah demikian.

Biaya pengeluaran yang besar untuk Pilkada, diantaranya adalah dari : (1) Biaya Pintu, (2) Biaya tim dan kampanye, (3) Politik uang dan (4) Biaya saksi dan pengawalan suara hingga perhitungan penetapan pemenang Pilkada.

Besarnya biaya ini, menjadikan mereka yang punya kapasitas dan memiliki rekam jejak melayani mayarakat, tidak bermodal, tidak akan maju. Yang bisa maju adalah mereka yang kaya atau yang dimodali cukong (kita berharap berkapasitas tentunya). Tidak jarang ada yang meminjam uang, dengan perhitungan kalau terpilih akan mengembalikannya. Dan ada juga yang jual kebijakan daerah sebelum terpilih.

Sebenarnya sudah komplit hukum positif memagari atau mencegah hal ini. Misalnya ada hukuman bagi partai politik yang minta mahar dari calon, ada pakta integritas untuk tidak politik uang, calon dan penerima politik uang akan dipidana dan ada hukuman bagi KPU dan Bawaslu yang “menjual” wewenangnya untuk kepentingan calon.

Baca Juga :  Pergulatan Perbankan Menghadapi Revolusi Industri 4.0 Menuju Digital Banking 4.0

Tapi faktanya tidak mempan juga. Dan dalam proses pemilu, tim sukses lebih berpegang pada “lebih baik curang tapi menang, daripada jujur tapi kalah”.

Masalah ini tidak hanya terjadi pada pemilukada, tapi juga pada pemilihan legislatif.

Yudi Latif, Ph.D penulis buku NEGARA PARIPURNA (mantan Kepala BPIP) tidak habis-habisnya “marah-marah” (dalam arti positif) atas format politik yang berbiaya tinggi ini. Dan sangat protes format politik di Indonesia, tidak didahului kajian akademik yang tuntas dan belum ada terobosan yang bisa menyelesaikan (biaya tinggi pilkada).

Kekesalannya termuat lagi pada kolomnya di halaman 1 Koran Kompas, kamis – 1 Agustus 2019.

Sebenarnya, penghambat utama adalah hukum positif UU/PKPU yang coba “diikatkan” ke para pihak terkait Pilkada, tidak ada efeknya. Dibaca, dikatakan, jadi argumen, diceramahkan (jujur dll), tapi tidak dirasa mengikat bagi para pihak untuk melaksanakan atau mematuhinya.

Semua janji-janji dan sumpah tersebut dijalani sekedar formalitas. Petugas diyakini bisa diupaya teeste (tahu sama tahu), dan kalau terpilih nanti kan bisa dicari cara agar KPK tidak sampai tangkap.

Masyarakat juga yang diupaya disadarkan tentang bahwa nasib mereka lima tahun jangan dijual murah, jangan memilih karena uang, kemiskinan telah membuat “mereka pelupa”. Mereka dengan cepat mengasosiasikan bahwa calon yang “kasih uang sekarang, akan kasih kemajuan nantinya”. Sesal mereka karena harapan tinggal harapan, juga tidak ada efeknya pada pilkada selanjutnya, karena saat pilkada lagi tiba, mereka “lupa lagi”.

Lalu bagaimana Buton bisa menyelamatkan demokrasi Indonesia?

Masyarakat di daerah Kepulauan Buton (melalui DPRD, misalnya) meminta sumpah adat melengkapi format pilkada yang saat ini dilaksanakan. Dengan mendasarkan pada proses PEMILIHAN SULTAN, SUMPAH ADAT diselipkan pada proses Pilkada di daerah Kepulauan Buton.

Baca Juga :  Masyarakat yang Mengamini Politik Uang Idealnya Tidak Lagi Menuntut Perubahan

Pertama, sebelum penjaringan calon Kada (kepala daerah), semua pimpinan Ketua dan Sekertaris DPC/DPD partai pengusung menjalani sumpah adat, bahwa mereka akan memilih sang calon karena kapasitas dan semata demi yang terbaik dari yang ada untuk menjadi kepala daerah di Tanah Buton. Prosesnya seperti Siolimbona disumpah dalam penetapan calon-calon Sultan.

“Kami bersaksi, bahwa kami siap kena bala dan keberkahan dicabut dari hidup kami, jika dalam memilih calon kepala daerah ini, bukan semata karena kami timbang inilah yang terbaik untuk membawa kemajuan daerah kita.”

Kedua, ketika para calon Kada sudah ada, sebelum upacara tandatangan pakta integritas, semua calon kada juga disumpah adat, agar tidak membagikan uang dalam proses pemilu.

“Saya bersumpah, di hadapan semua rakyat dan leluhur saya, saya tidak akan selamat di dunia ini, jika untuk meraih kemenangan, saya membagikan uang atau hadiah agar rakyat memilih saya. Saya rela tanah tidak menerima jasad saya, jika saya meninggal.”

Kadang, sebenarnya bukan karena tidak bersedia untuk tidak membagikan uang, tapi karena selalu ada info dari tim sukses bahwa “sebelah” sudah bersiap membagikan uang (kalau kita tidak membagi uang juga, kita sudah pasti kalah).

Melalui dua sumpah adat di atas, diharapkan kepala daerah tidak dicalonkan karena keturunannya, tidak dipilih karena hartanya, tapi dicalonkan dan dipilih karena kapasitas kompetensinya, rekam jejaknya, kekuatan moralnya dan berani untuk berjanji mengabdi pada tanah Buton, dengan prinsip “bolimo karo somanamo lipu”.

Ketiga, Kada terpilih sebelum disumpah Gubernur/Presiden, sang Kada terlebih dahulu menjalani sumpah adat di Batu Popaua.

“Saya bersumpah akan mendapatkan bala jika saya menghianati kepercayaan yang telah saya terima dari rakyat. Kepada tanah Buton, saya berjanji akan adil dan menjadikan seluruh rakyat adalah bagian dari keluarga saya, dan tegakkan keadilan bagi semua. Sara Pataanguna akan jadi pedoman saya memerintah”. (ini sumpah semisal saja)

Baca Juga :  Melihat Dampak Covid-19 Terhadap Ketenagakerjaan di Provinsi Sulawesi Tenggara

Telah terbukti di Indonesia, hukum adat lebih ditakuti dan kuat mengikat yang bersumpah daripada hukum positif.

Dan Buton dapat memulainya, karena nyata bukti sejarah selama tujuh ratus tahun kesultanan Buton berdiri tegak dan tidak ada perpecahan di dalam yang lazim mengundang penjajahan oleh pihak luar.

Semua itu, salah satunya disebabkan adanya sumpah adat dan spiritual dalam proses pemilihan para Sultan.

Dan bagusnya, proses ini tidak menentang atau merubah proses yang telah ditetapkan UU/PKPU. Proses yang telah ada tetap dijalankan.

Hanya menjalankan kesepakatan daerah untuk menyelipkan UPACARA SUMPAH ADAT dalam pilkadanya.

Tiap daerah di Indonesia, dapat menjalankan sumpah adat tersendiri, sesuai dengan adat istiadat di daerah masing-masing.

Semoga gagasan ini dapat disempurnakan dengan tambahan pikiran-pikiran dari para pembaca dan akademisi. Dan semoga dapat dilaksanakan pada Pilkada mendatang di wilayah Kepulauan Buton.

Saatnya, KEARIFAN Buton tampil selamatkan demokrasi Indonesia. Aamiin yra.

Kabarakatikan tana Wolio.

Jakarta, 12 Agustus 2019

Facebook Comments