Masyarakat yang Mengamini Politik Uang Idealnya Tidak Lagi Menuntut Perubahan

Oleh: Dr. Fahmy Fotaleno, SIP, M.I.Kom (Jurnalis & Akademisi)

PILKADA 2024 sebentar lagi akan digelar secara serentak di seluruh Indonesia. Tentunya sudah menjadi rahasia umum bahwa pesta demokrasi, khususnya dalam pilkada, seringkali lebih menjadi arena adu kekuatan finansial daripada kompetisi visi dan misi yang substansial. Dalam kondisi seperti ini, uang menjadi instrumen utama dalam memenangkan suara, menggantikan peran idealisme dan komitmen terhadap perubahan.

- Advertisement -

Masyarakat yang seharusnya berperan sebagai pengawas dan penjaga proses demokrasi justru seringkali terperangkap dalam siklus politik uang. Alih-alih mengawasi dan memastikan jalannya proses demokrasi yang bersih dan adil, mereka malah menjadi bagian dari praktik-praktik korup yang merusak fondasi demokrasi itu sendiri.

Siklus politik uang ini tidak hanya mencederai prinsip-prinsip demokrasi, tetapi juga menghambat perubahan yang sebenarnya sangat mereka dambakan. Akibatnya, alih-alih mendorong terciptanya pemerintahan yang lebih baik dan pro-rakyat, mereka justru memperkuat status quo yang korup dan sulit berubah.

Politik Uang dan Keruntuhan Moralitas Demokrasi

Dalam konteks filsafat politik, fenomena politik uang dapat dilihat sebagai bentuk korupsi moral yang merusak esensi demokrasi itu sendiri. Demokrasi idealnya dibangun di atas partisipasi aktif dan kritis dari masyarakat yang berdasarkan pada nilai-nilai keadilan, kebenaran, dan kesejahteraan bersama. Namun, ketika politik uang menjadi norma, nilai-nilai tersebut tergerus, dan yang tersisa adalah transaksi materialistik yang dangkal.

Jean-Jacques Rousseau, seorang filsuf besar dari Era Pencerahan, dalam karyanya yang berpengaruh “The Social Contract” menegaskan bahwa legitimasi pemerintahan yang sejati hanya dapat berasal dari kehendak umum yang murni, yaitu kehendak kolektif yang mewakili kepentingan seluruh masyarakat. Kehendak umum ini seharusnya menjadi dasar dari setiap keputusan politik dan kebijakan pemerintah, memastikan bahwa kepentingan rakyat selalu diutamakan. Namun, dalam konteks politik uang yang marak terjadi saat ini, prinsip kehendak umum yang murni ini telah mengalami distorsi yang parah. Kepentingan pribadi, ambisi politik sempit, dan pragmatisme jangka pendek telah mengaburkan esensi dari kehendak umum tersebut.

Baca Juga :  Tiga Agenda Membangun Peradaban

Alih-alih menjadi pendorong utama dalam proses demokrasi, masyarakat malah terjebak dalam permainan kekuasaan yang korup. Mereka, yang seharusnya menjadi sumber kekuatan demokrasi dan penentu arah perubahan sosial, justru berubah menjadi komoditas yang diperjualbelikan. Dalam situasi ini, suara rakyat bukan lagi alat untuk menuntut perubahan yang sejati dan mendasar, melainkan sekadar alat tukar dalam transaksi politik yang semu.

Demokrasi, yang seharusnya menjadi wahana bagi rakyat untuk mewujudkan keinginan kolektif mereka, kehilangan maknanya ketika kehendak umum yang murni ini dikhianati oleh praktik-praktik politik uang. Dengan demikian, masyarakat kehilangan kemampuannya untuk berfungsi sebagai agen perubahan yang efektif, dan sebaliknya, menjadi korban dari sistem yang korup dan memanipulasi mereka untuk keuntungan segelintir elit.

Masyarakat sebagai Penjual dan Calon Kepala Daerah sebagai Pembeli

Jika kita analogikan fenomena politik uang dengan sistem jual beli, maka masyarakat yang menjual suaranya kepada calon kepala daerah serupa dengan seorang penjual yang telah menyerahkan barang dagangannya kepada pembeli. Dalam logika ekonomi, begitu transaksi terjadi dan uang berpindah tangan, kepemilikan atas barang tersebut sepenuhnya beralih kepada pembeli.

Penjual, setelah menyerahkan barangnya, tidak lagi memiliki klaim atau kontrol atas barang tersebut. Ia juga tidak memiliki harapan atau wewenang untuk mengatur bagaimana pembeli akan memperlakukan barang tersebut, apakah akan dipelihara dengan baik atau bahkan dihancurkan.

Dalam konteks pemilihan kepala daerah (pilkada), fenomena ini menggambarkan bagaimana masyarakat yang telah ‘menjual’ suaranya dengan imbalan uang secara simbolis melepaskan hak moral mereka untuk menuntut perubahan atau akuntabilitas dari calon yang terpilih. Calon kepala daerah yang membeli suara tersebut dapat merasa bahwa mereka tidak lagi terikat oleh tanggung jawab moral atau politis untuk memenuhi janji-janji kampanye yang sebelumnya dilontarkan. Dalam pandangan mereka, suara yang telah dibeli adalah komoditas yang diperoleh melalui transaksi yang sah, dan dengan demikian, tidak ada kewajiban yang mengharuskan mereka untuk memenuhi harapan pemilih yang telah menerima imbalan.

Baca Juga :  Ekspedisi Geopark Kaldera Toba, Pers Turut Menjaga Warisan Dunia

Hal ini menciptakan situasi di mana hubungan antara pemimpin dan masyarakat menjadi transaksional dan penuh kepentingan pribadi, bukan didasarkan pada kepercayaan dan tanggung jawab bersama. Masyarakat yang menerima uang sebagai ganti suara mereka secara tidak sadar telah melepaskan hak mereka untuk mengeluh atau menuntut perubahan ketika janji-janji kampanye tidak terpenuhi.

Mereka terperangkap dalam siklus di mana suara mereka tidak lagi dihargai sebagai sarana untuk memperjuangkan kepentingan umum, melainkan sebagai alat untuk memperkaya diri dalam jangka pendek. Ini adalah konsekuensi logis dari politik uang: masyarakat kehilangan kekuatan moral untuk menuntut pemenuhan janji dan memperbaiki keadaan, karena mereka telah merelakan suara mereka untuk ditukar dengan keuntungan sesaat. Dalam jangka panjang, praktik ini tidak hanya merusak tatanan demokrasi, tetapi juga memperkuat status quo yang merugikan masyarakat itu sendiri.

Pilkada dan Politik Uang

Contoh konkret dari fenomena ini dapat dilihat dalam berbagai pilkada di Indonesia. Di banyak daerah, calon kepala daerah yang memiliki dana besar sering kali lebih unggul, bukan karena visi dan misinya lebih baik, tetapi karena kemampuannya untuk ‘membeli’ suara dengan uang atau barang. Masyarakat yang menerima uang ini, secara tidak langsung, telah menyerahkan hak mereka untuk meminta pertanggungjawaban di kemudian hari.

Di beberapa daerah, setelah pilkada selesai, banyak kepala daerah yang terpilih melalui politik uang terbukti tidak mampu membawa perubahan yang berarti. Ini karena mereka merasa sudah ‘membeli’ mandat mereka dan tidak lagi perlu mendengarkan aspirasi masyarakat. Dalam skenario seperti ini, masyarakat yang telah menjual suaranya tidak memiliki dasar moral atau politik untuk menuntut perubahan, karena mereka sendiri yang telah menggadaikan masa depan mereka demi keuntungan jangka pendek.

Baca Juga :  Capai Terobosan Daerah, Jangan Lupa Pasang "Undian"

Olehnya itu, perubahan dalam suatu masyarakat memerlukan partisipasi aktif dan pengorbanan dari semua pihak, terutama masyarakat itu sendiri. Ketika masyarakat mengharapkan perubahan, mereka harus siap untuk menolak godaan politik uang dan memilih berdasarkan visi, misi, dan komitmen calon kepala daerah terhadap kemajuan. Jika tidak, mereka harus siap menerima kenyataan bahwa perubahan yang diinginkan tidak akan pernah terwujud, karena mereka telah menjual hak mereka untuk menuntutnya.

Dalam filsafat, ada konsep yang disebut “utilitarianisme” yang menyatakan bahwa tindakan yang benar adalah tindakan yang menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak. Namun, dalam konteks politik uang, utilitarianisme ini terbalik: tindakan yang benar, yaitu menolak politik uang, seringkali tidak terjadi karena keuntungan jangka pendek dianggap lebih penting. Masyarakat harus menyadari bahwa untuk mencapai kebahagiaan jangka panjang, mereka harus berani menolak politik uang dan berjuang untuk perubahan yang mereka inginkan. (adm)

Facebook Comments